Kisah Kelahiran Nabi Muhammad


KISAH KELAHIRAN  NABI MUHAMMAD

Perkawinan Abdullah dengan Aminah[1]

Usia Abdullah-Muttalib sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun atau lebih tatkala Abrahah mencoba menyerang Makkah dan menghancurkan Ka’bah.[2] Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah dua puluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abdul-Muttalib jatuh kepada Aminah binti Wahb bin Abdu-Manaf bin Zuhrah,-pemimpin suku Zuhrah ketika itu-yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhrah. Ia dengan anaknya menemui Wahb dan melamar putinya. Pada waktu perkawinan Abdulah dan Aminah itu, Abdul-Muttalib juga kawin dengan Halah, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Muhammad yang sesuai dengan dia. Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan dirumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama – sama kekeluarga Abdul-Muttalib. Tak berapa lama kemudian Abdullah pun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang sedang hamil. Dalam perjalanannya selama beberapa bulan itu Abdullah pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia jatuh sakit di tempat pamannya itu. Kawan – kawannya pun pulang lebih dahulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya Abdullah kepada ayahnya setelah mereka sampai di Makkah.

Kematian Abdullah dan Harta Peninggalannya

Begitu berita sampai kepada Abdul-Muttalib ia langsung mengutus Haris – anaknya yang sulung – ke Medinah supaya membawa Abdullah kembali bila sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan, sebulan sesudah kafilahnya ke Makkah. Kembalilah Haris kepada keluarganya dengan perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka menyayat hati Abdul-Muttalib, menyayat hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan dan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga Abdul-Muttalib sangat sayang padanya sehingga penebusannya pada Sang Berhala sampai demikian rupa, yang belum pernah terjadi di kalangan Arab.

Kelahiran Muhammad ( Tahun 570 M )[3]

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti perempuan lain ia pun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abdul-Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menrima berita. Sekaligus ia terimgat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hati karena pengganti anaknya sudah tiada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Namun ini tidak umum dikalangan masyarakat Arab, tetapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu keibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari keluarga Sa’d ( Banu Sa’d ), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan  Arab di Makkah.
Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, masih terdapat beberapa perbedaan pendapat dikalangan sejarawan. Sebagian besar mengatakan pada tahun Gajah, 26 April 57 M, atau 12 Rabiul awal 1 AH di kota Makkah.[4] Ibn Abbas juga mengatakan ia dilahirkan pada tahun Gajah itu. Yang lain mengatakan ia dilahirkan lima belas tahun sebelum peristiwa itu. Kemudian ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau beberapa bulan setelah tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, ada juga yang memperkirakan tujuh puluh tahun kemudian setelah itu.
Dalam kisah kelahiran Muhammad, umat muslim yakin akan kisah-kisah ajaib yang dikaitkan dan yang menandakan bahwa kelahiran Muhammad sebagai tanda utusan Allah.
1.        Kisah padamnya Api yang disembah oleh kaum Majusi
Api yang dipercaya oleh kaum Majusi sebagai Tuhan, padam saat kelahiran Muhammad, yang mana api tersebut tidak pernah padam ratusan tahun. Setelah padamnya api tersebut, kaum Majusi mencoba untuk menghidupkannya namun tidak bisa hidup lagi.
2.        Kisah burung Ababil yang mengalahkan pasukan gajah
Saat sebelum Muhammad lahir, raja Abrahah ingin menguasai kota Makkah karena Ka’bah sebagai pusat sembahan yang banyak dikunjungi para Kafilah. Saat itu kota Makkah dalam keadaan kosong (selain Aminah yang tinggal di rumahnya karena sedang hamil Muhammad) untuk bersembunyi dari rencana serangan raja Abrahah. Saat menyerang pasukan gajah, datanglah burung Ababil membawa krikil Sigil (dipecaya sebagai krikil bara api dari Neraka) untuk mengalahkan pasukan gajah. Saat kekalahan pasukan gajah tersebut maka masa itu disebut tahun Gajah.
3.        Pohon kurma yang sudah kering berdaun kembali.
4.        Mata air yang telah kering berair kembali.
5.        Ada salam dari burung-burung yang yang berkicau saut menyaut dan berterbangan di daerah Makkah menyampaikan salam atas kelahiran Muhammad.
6.        Hancurnya patung berhala yang ada di dalam Ka’bah saat Muhammad lahir.
7.        Ada suara yang keluar dari Ka’bah yang mengatakan “ Katakanlah, telah datang kebenaran akan agama Islam dan tidak akan memulai kebatilan juga tidak akan mengembalikan kekufuran.”
8.        Jin tidak leluasa lagi untuk mencuri berita untuk dipakai para tukang sihir. Saat malam  Muhammad kelahiran tersebut setiap jin mencoba mencuri berita mereka diserang dengan panah api. Akhirnya para jin berkumpul untuk mencari tahu dan mereka menyampaikan hal tersebut kepada iblis. Mereka diperintahkan iblis untuk menyebar ke seluruh bumi untuk mencari tahu. Akhirnya mereka sampai di kota Makkah dan mendapati bayi Muhammad sedang dikelilingi para malaikat karena dari dalam tubuh bayi Muhammad keluar cahaya yang amat terang. Para malaikat pun menyembah Muhammad sebagai junjungan Allah.
9.        Dikisahkan saat mengandung Muhammad, dari bulan pertama bulan Rajab sampai bulan kelahirannya di bulah Rabiul didatang para Nabi-nabi terdahulu dan menyampaikan agar ketika bayi itu lahir nanti diberikan nama Muhammad. Hal itu teerbersit di hati Abdul Mutalib kakeknya.
10.    Saat akan melahirkan Aminah didatangi dua tamu dari surga. Mereka adalah Asyiah yakni istri raja Firaun dan Maryam ibu Nabi Isa. Mereka datang untuk membantu proses persalinan tersebut.

Pada hari ketujuh kelahirannya Abdul-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dialakukan dengan mengundang masyarakat Kuraysi. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa mereka tidak suka menggunakan nama nenek moyang. “ Kuinginkan dia menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan dilangit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” jawab Abdul-Muttalib.

Yang Menyusukan Muhammad[5]

Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang keluarga Sa’d yang akan menyusukan, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Makkah. Adat demikian masih berlaku di kalangan bangsawan-bangsawan Makkah. Pada hari kedelapan biasanya mereka mengirim anak itu ke pedalaman dan baru pulang ke kota setelah berumur delapan atau sepuluh tahun. Aminah menyerahkan anaknya kepada Suwaibah, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Ia disusukan selama beberapa waktu, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.
Akhirnya datang juga perempuan-perempuan keluarga Sa’d yang akan menysukan itu ke Makkah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Tetepi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharabkan sekedar balas jasa dari sang ayah. Sedang anak-anak yatim hanya sedikit yang bisa mereka harabkan. Oleh kerena itu diantara mereka tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapatkan hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang mereka harabkan.
Halimah binti Abi Zua’ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain, tidak mendapat bayi yang lain sebagai gantinya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Makkah, Halimah berkata kepada suamimnya, al-Haris bin Abdul-Uzza “Tidak senang aku pulang dengan teman temanku tanpa membawa bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan kubawa juga.” “Baiklah” jawab suaminya. “Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberiakn berkat kepada kita.” Halimah kemudian membawa Muhammad dan kemudian membawanya pergi bersama-sama dengan teman temannya di pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak mengambil anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan air susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. Selama dua tahun Muahammad tinggal di Sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan tubuhnya. Setelah cukup dua tahun dan tiba saatnya di sapih, Halimah membawa anak itu ke ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh ikatan rohani dan materi.

Dibawah Asuhan Aminah kemudian Abdul-Muttalib

Sesudah lima tahun kemudian Muhammad dikembalikan ke ibunya. Dikatakan, bahwa Halimah pernah mencarinya tatkala ia membawa pulang ketempat keluarganya tetapi tidak menjumpainya. Ia menjumpai Abdul-Muttalib dan memberitau bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu Kota Makkah. Abdul-Muttalib pun segera menyuru orang untuk mencarinya, yang akhirnya dikembalikan oleh Waraqah bin Naufal, demikian setengah orang berkata.
Kemudian Abdul-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih sayangnya kepada cucu ini. Buat orang tua itu – pemimpin seluruh orang Kuraysi dan pemimpin Makkah – biasanya dia hamparkan alas duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya pun duduk di sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua itu. Tetapi apabila Muhammad yang datang, maka didudukannya ia disampingnya di atas alas duduk itu sambil mengelus-elus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cinta itu, paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya dibelakang dari tempat mereka duduk. Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak keluarga Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Um Aiman, peremuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampainya mereka di Medina di perlihatkan  rumah tempat meninggalnya ayahnya dulu dan tempat di kuburkan. Itulah yang pertama kali ia merasaan sebagai anak yatim. Barang kali ibunya juga pernah bercerita panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang telah beberapa waktu tinggal bersama-sama, yang kemudian meninggal di tengah-tengah keluarga pamannya dari pihak ibu. Sesudah hijrah pernah juga Nabi bercerita kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanan yang pertama ke Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta kepada Medinah, kisah yang penuh duka kepada orang-orang yang ditinggalkan keluarganya.

Aminah Wafat

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketiaka mereka sampai di Abwa’, Ibunda Aminah menderita sakit,  yang kemudian meninggal dan dikuburkan di tempat itu, tepatnya saat Muhammad berusia 6 Tahun.[6]
Anak itu oleh Um Aiman dibawa kembali pulang ke Makkah, pulang sebatang kara, menangis dengan hati pilu. Ia semakin merasa kehilangan. Sudah ditakdirkan juga ia menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan ayahanda  semasa ia masih di dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu di biarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim piatu.

Abdul-Muttalib Wafat[7]

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abdul-Muttalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga menyusul, meninggal dalam usia delapan puluh tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunaya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis ketika menghantarkan keranda jenazah ketempat perduan terakhir.
Sebenarnya kematian Abdul-Muttalib ini merupan pukulan berat bagi Banu Hasim semua. Diantara anak-anaknya tak ada yang seperti dia – punya keteguahan hait, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Makkah bila mereka mendapat bencana. Sekarang tak ada lagi diantara anak-anaknya yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, dan tak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu Bayu Umayyah yang sejak dulu ingin memegang pimpinan, sekarang tampil kedepan untuk mengambil tampuk pimpinan tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari keluarga Hassyim.

Dibawah Asuhan Abu Talib Pamannya

Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu Talib, sekalipun dia buakan yang tertua diantara saudara-saudaranya. Saudara yang tertua Haris, tapi dia tidak begitu mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, sangat kikir. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqayah ( pengairan ) tanpa menurus rifadah ( makanan ). Tetapi sekali pun dalam kemiskinannya, Abu Talib punya perasaan yang paling halus dan terhormat di kalangan Kuraisy. Tidak heran jika Abdul-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib.
Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangnya, sekalipun sudah di bawah asuhan pamannya Abu Talib pamannya. Ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus sampai pamannya itu pun meninggal.


[1] Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta:Litera Antar Nusa, 2014), hlm. 48. 
[2] Muhammad Husain, Sejarah…, hlm. 48. 
[3] Mohammad Zazuli, Sejarah Agama Manusia, ( Yogyakarta: Narasi, 2018), hlm. 53, bdk. Muhammad Husain, Sejarah…, 49-52.
[4] Mohammad Zazuli, Sejarah…, hlm. 51.
[5] Muhammad Husain, Sejarah…, hlm. 52-56.
[6]  Susan Wise Bauer, Sejarah Dunia Abad Pertengahan, ( Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 320, bdk. Mohammad Zazuli, Sejarah…, hlm. 53.
[7] Muhammad Husain, Sejarah…, hlm. 57.

Komentar

Postingan Populer