Sejarah Islam: Masa Jahiliyah


MASA JAHILIYAH

Agama Islam sangat terkenal dengan Sejarah Kebudayaan Islam, dari zaman Jahiliyah ke zaman Islamiyah. Masa Jahiliyah adalah era ketika kondisi dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah Islam. Masa ini juga adalah masa kemunduran dimana masyarakat Arab sudah dipengaruhi oleh berbagai macam agama yang masuk mempengaruhi kepercayaan setempat. Periode ini sering juga disebut dengan istilah pra-Islam. Seiring dengan perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat orang-orang yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kebiasaan-kebiasaan kaum jahiliyah yang realitasnya berseberangan dengan anjuran Rasulullah s.a.w tersebut disebabkan oleh sifat keras kepala,apriori dan ta’assub (fanatik yang berlebihan) terhadap peninggalan dan tradisipara leluhur yang mengental rekat dalam ritual yang selaludisakralkan. Seperti kebiasaan dahulu orang-orang jahiliyah yang mengitari Ka’bah dengan bertelanjang tanpa busana, akhirnya terwarisi dengan kebiasaan generasi berikutnya yang tidak malu mempertontonkan auratnya di depan publik, sehingga hal seperti itu dianggap lumrah bahkan dianggap sebagai modernisasi. Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab dalam Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa agama mereka (orang-orang jahiliyah) terbangun oleh beberapa pondasi yang menjadi akar dan pijakan.
Lahirnya agama Islam dibentuk dari kebudayaan orang Arab zaman pra-Islam. Maka, untuk memahami agama Islam lebih jauh, perlu mendalami terlebih dahulu kebudayaan yang ada pada masa pra-Islam. Muhammad sendiri menciptakan monoteisme baru yang dipasangkan dengan kebutuhan kontemporer dari masyarakat sekitarnya dengan memakai bentuk kebudayaan yang ada.[1] Kehadiran Muhammad membawa atau bermaksud mengembalikan kepercayaan mereka pada yang asali seperti yang ada sebelum adanya kepercayaan yang masuk. Berikut ini adalah keadaan Arabia pada Zaman Pra-Islam.

Sosial Masyarakat

Sistem kemasyarakatan bangsa Arab zaman pra-Islam memakai sistim “qaum” (rakyat, warga, kaum). Di bagian Barat Arab, masyarakat kelompok kecil disebut “klan” dan masyarakat kelompok besar disebut “suku”.Aspek kesukuan pada masyarakat Arab zaman pra-Islam sangatlah kuat terutama yang dipersatukan oleh pertalian darah. Untuk membangun semangat komunal ini, bangsa Arab mengembangkan ideologi yang disebut muru-ah yang diterjemahkan sebagai “sifat kejantanan”. Muru-ah diterjemahkan kearah yang lebih luas yang disesuaikan dengan konteks hidup pada masa itu, yaitu “keberanian dalam perang, kesabaran dan ketahanan dalam penderiataan, pengabdian pada tugas, sikap penyesalan, melindungi para anggota yang lemah, dan menghadapi yang kuat.”[2]
Vendetta (pembalasan dendam) adalah salah satu cara menjaga keamanan masyarakat. Setiap suku harus membalaskan kematian setiap anggota dengan berusaha membunuh seseorang dari suku lawan.Sikap vendetta sangat kuat dipraktekkan oleh suku-suku di padang pasir dan juga suku arab pengembara. Pemotongan tangan, kaki, leher bagi mereka sah-sah saja, lidah disayat, telinga dipotong, bahkan mata dicungkil sebagai hukuman atas kejahatan, dan algojo sebagai pengeksekusi dipandang sebagai pahlawan. Situasi dan kondisi Arab yang keras ini menciptakan masyarakat kesukuan menjadi keras sehingga menjadi norma tersendiri dan menjadi atribut bagi Bangsa Arab.[3] Istilah mata ganti mata, gigi ganti gigi adalah hal yang lumrah bagi setiap suku bila tersakiti. Penyerangan terhadap suku lainpun adalah sikap yang bermoral demi memperoleh kekuasaan, harta, istri-istri, budak-budak sehingga mengakibatkan setiap suku terus-menerus berperang.[4]Cara lain untuk bertahan hidup sebagai kelompok adalah yang disebut Ghazwu (penyerangan mendadak). Di masa-masa genting atau krisis, terutama krisis sandang pangan, setiap anggota suku akan menyerbu anggota suku lain untuk mendapatkan ternak piaraan, makanan dan barang-barang lain. Perampokan ini dianggap bermoral demi kelangsungan kehidupan suku asalkan jangan merampok sesama anggota suku.[5]                

Situasi Politik

Situasi politik pada zaman pra-Islam dipengaruhi oleh kehidupan masyarakatnya pada masa itu yang keras dan fanatik terhadap suku lain. Arabia zaman pra-Islam sangat memegang erat ide komunitas dan persaudaraan. Anggota suku memerlukan orang yang terbaik yang bisa memimpin suku itu sendiri, dan paling dituntut sebagai seorang yang mampu untuk memimpin adalah orang yang memiliki sikap muru-ah. Karena sistimnya demikian, yang kuat memimpin sementara yang lemah bisa saja dienyahkan/dieksploitasi dengan tujuan untuk mengendalikan populasi kelompok dan hal ini pun dianggap bermoral. Kaum perempuan tiada bedanya seperti budak, tidak memiliki hak kemanusiaan ataupun hukum. Laki-laki bebas memiliki banyak istri dan diperlakukan dengan kejam. Laki-laki kadang mengawini perempuan hanya untuk pemuas hawa nafsu dan untuk memperoleh harta kekayaan.[6]
Pada sisi Arab Selatan yaitu kota Makkah adalah kota yang bergantung pada impor dan perniagaan. Daerah ini adalah daerah yang strategis untuk perdagangan, perekonomian yang maju dan juga sebagai tempat persinggahan orang-orang yang melakukan perjalanan. Karena hal ini semua, maka Arab khususnya bagian Arab selatan terbagi menjadi dua Negara adikuasa, yaitu Bizantium dan Persia yang sering melancong ke kota Makkah. Tujuan awal dua Negara ini sebenarnya ingin menyebarluaskan sistim kepercayaan mereka, namun semangat awal ini menjadi kering dan ingin menguasai sepenuhnya kota Makkah. Bizantium sendiri berafiliasi dengan kaum Abyssinia, memasuki Yaman dan menjadikan Negara itu di bawah kekuasaan Konstantinopel. Suku Arab Selatan berafiliasi dengan Persia untuk melawan Abyssinia yang ingin menguasai Arab Selatan di bawah kontrol Bizantium.
Hal yang sama dialami oleh suku Badui yang telah sekian lama bermukim di Arab Tengah merasa tidak lagi nyaman terhadap berbagai macam aliran yang bermunculan sebagaimana dirasakan oleh suku yang berada di Arab Selatan. Kemudian mereka memberanikan diri mengubah cara hidup mereka dengan masuk ke daerah padang pasir yang gersang dan tandus untuk mencari kenyamanan. Hidup mereka berpindah-pindah (nomaden). Alat transportasi yang mereka andalkan adalah hewan unta yang mampu hidup di padang pasir yang gersang karena kemampuannya menyimpan air dalam tubuhnya.[7]

Situasi Ekonomi

Suku Quraisy mulai terlibat dalam perdagangan dan beternak secara tradisional. Keadaan sosial ekonomi masyarakat Arab sangat dipengaruhi oleh posisi geografisnya. Sebagian besar wilayah Arab merupakan daerah yang gersang dan tandus, kecuali wilayah Yaman yang terkenal subur dan lokasinya strategis sebagai lalu lintas perdagangan.[8]Ka’bah juga yang ada di Makkah yang dianggap keramat itu membawa orang Arab pergi haji ke kota ini setiap tahun dan tempat peribadatan menciptakan suatu iklim yang amat menyenangkan untuk perdagangan. Untuk menjaga keamanan, suku Quraysi menjalin hubungan dengan suku Badui. Suku Badui yang hidupnya nomaden merupakan prajurit yang tangguh. Sebagai imbalannya, suku Badui mendapat saham dari penghasilan suku Quraysi. Suku Quraysi menjadi kekuatan besar Arab selama abad ke-6.[9]

Kehidupan Religius

Dalam tradisi Islam ini ada juga yang dikenal dengan Ka’bah tempat berdoa mereka yang dibangun oleh Ibrahim da Ismail di atas fondasi yang sudah ada sebelumnya. Menurut sejarah, Ka’bah dibangun oleh Adam. Ka’bah dibangun dengan maksud sebagai tempat peribadatan kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, pada masa jahiliyah Ka’bah dijadikan sebagai tempat penyembahan berhala, disekelilingnya banyak patung berhala sembahan bangsa arab pra-Islam. Selain itu ada juga yang dikenal dengan sumur zam-zam (kisah Hagar dan Ismail yang berada di gurun gersang).
Kehidupan religius yang tumbuh sebelum masa Muhammad adalah kepercayaan yang dianut oleh kaum Sabian. Masyarakat kaum Sabian menganut kepercayaan terhadap benda-benda angkasa yang menjadi sesembahan mereka. Bulan dianggap sebagai dewa laki-laki dan matahari dianggap sebagai dewa perempuan.[10] Persatuan antara dewa laki-laki dan dewa perempian itu melahirkan dewa-dewi lain seperti bintang-bintang, inilah yang disebut dengan Al-Lata, Al-Uzza dan Manat. Ritus berpuasa dari Sabian kafir ini dimulai waktu munculnya bulan sabit dan berlangsung terus sampai bulan sabit berikutnya muncul kembali.[11]
Ada juga suku Quraysi. Leluhur dari suku Quraysi yang dikenal dengan sebutan Qushai telah menetap di lembah Makkah tempat peribadatan menjelang akhir abad ke-5. Menurut legenda, Qushai telah berkelana ke Syria dan membawa dewa-dewi, yaitu Al-Lata, Al-Uzza, dan Manat ke Hizaj dan menobatkan dewa kaum Nabatean, Hubal dan Ka’bah. Suku Quraisy berhasil mengusir kaum Khuza’ah suku yang menjaga Ka’bah yang dianggap gagal menjalankan kepercayaan keramat. Dewa-dewi ini dianggap putra-putri Allah dan menjadi perantara padaNya. Orang-orang pedalaman sekali setahun mengadakan ziarah dan sembahyang ke Ka’bah di Makkah.[12] Ritual ini dilakukan karena percaya bahwa dewa-dewi mereka bersemayam disana.
Kesenian pada masa pra-Islam juga sangat menentukan cara berpikir masyarakat pada masa itu. Kepenyairan merupakan ketrampilan yang sangat penting. Penyair memenuhi banyak fungsi baik dalam kehidupan politik maupun kemasyarakatan. Syair-syair yang mereka lantunkan/katakana bukan hanya dipandang sebagai supermanusia tapi juga memiliki kekuatan magis.  Para penyair sangat suka menceritakan peperangan dan keberhasilan suku, meratapi musibah-musibah yang menerpa mereka, dan membantu para anggota suku menghargai kualitas istimewa muru’ah.

Penutup

Melihat situasi perekonomian yang semakin meningkat, suku Quraysi tidak ingin membiarkan orang-orang dari Negara lain datang mengeksploitasi kesuksesan mereka. Sampai awal abad ke-7, mereka menjadi sangat kaya melebihi yang dapat terbayangkan. Kesuksesan ini mereka anggap sebagai penyelamat mereka ketika masih dirundung kesusahan oleh kemiskinan dan pertempuran. Namun setelah kenikmatan ini ada, tumbuh kembali sikap serakah dan individualisme dan akhirnya suku Quraysi terpecah-belah menjaditiga kelompok besar. Muhammad yang diakui sebagai perintis agama Islam termasuk klan Hasyim. Masyarakat Arab khususnya di lingkungan di mana Muhammad dilahirkan mulai jenuh akan keadaan hidup mereka.
Dalam hubungannya dengan kehidupan religius, tugas Muhammad adalah mengembalikan agama kepercayaan nenek moyang mereka. Orang telah lama mencari adanya agama monoteis dan beberapa telah siap untuk mendengar pesan Muhammad bahwa hanya ada satu Tuhan. Pada saat dia (Muhammad) mulai menyiarkan agama di Makkah, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Ka’bah didedikasikan untuk Allah, Tuhan tertinggi bangsa Arab penyembah berhala. Di awal abad ke-7, Allah menjadi lebih penting dari pada sebelumnya dari kehidupan agama banyak suku Arab.[13]




[1]Antony Black, The History of Islamic Political Thought, (Chippenham: CPI Antony Rowe, 2011), hlm. 10, cet. 2.
[2]Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1991), hlm. 60.
[3]Karen Armstrong, Muhammad…, hlm. 62.
[4]Robert Morey, Islamic convesion, (Scholars Press: Shermans, PA, 1991), hlm. 41.
[5]Karen Armstrong, Muhammad…, hlm. 62.
[6] Benitius Brevoort, Filsafat dan Teologi Islam, (Sinaksak, Pematangsiantar 2011), hlm. 8-9.
                [7] Mauritius Mooren, Pengantar Agama Islam, (Seminari Agung Kapusin: Pematangsiantar, 1981), hlm. 5-8.
[8] Benitius Brevoort, Filsafat…,hlm. 7.
[9]Karen Armstrong, Muhammad…, hlm. 72.
[10] Robert Morey,Islamic…, hlm. 47.
[11] Robert Morey, Islamic…, hlm. 57.
[12]Karen Armstrong, Muhammad…, hlm.71.
[13]Karen Armstrong, Muhammad…, hlm.73.

Komentar

Postingan Populer