Tanda-tanda Menuju Kenabian


TANDA-TANDA MENUJU KENABIAN

Hatinya dibersihkan oleh dua orang malaikat

Menjadi suatu kebiasaan bagi orang Arab untuk menyusukan anaknya pada orang lain khususnya ke daerah terpencil dengan tujuan agar menghindarkan sang anak dari penyakit dan agar belajar bahasa Arab yang masih murni. Di antara suku Arab, wanita Sa’ad memilki reputasi yang baik menjadi ibu susu. Karena saat itu sedang masa paceklik, para ibu susu cenderung mengasuh anak kaum bangsawan atau orang kaya karena akan diberi upah meskipun sewajarnya tidak boleh menerima upah.
Ketika Muhammad lahir, tak ada seorang pun datang kepada Aminah (ibu Muhammad) untuk mengambil anaknya. Halimah mengambil Muhammad menjadi anak susunya karena ia dan Harits suaminya termasuk golongan sangat miskin sehingga tak ada yang berniat untuk memberikan anaknya kepada mereka. Juga ia malu apabila ia pulang ke kampung dengan tidak membawa anak untuk disusui. Halimah menjadi ibu susu Muhammad dengan harapan bahwa Tuhan yang akan memberi upah kepadanya. Kemudian hari walaupun sedang masa paceklik, susu Halimah tidak berhenti mengalir melainkan tetap melimpah sehingga Muhammad dan anaknya bisa puas minum susu. Selain itu berkat lain datang kepada Halimah karena ternaknya juga menghasilkan susu yang melimpah sehingga Harits dan keluarganya dapat hidup.[1]
Setelah 2 tahun seturut kebiasaan, Muhammad seharusnya kembali kepada Aminah, akan tetapi atas permohonan Halimah, Muhammad tetap diasuh oleh Halimah sampai usia 5 tahun. Alasan lain ialah karena adanya wabah kolera di kota sehingga Aminah tak ingin anaknya terjangkit penyakit tersebut. Setelah itu, suatu kali ketika Muhammad dan saudara susunya bermain di belakang rumah, tiba-tiba ada orang berpakaian putih mendatangi Muhammad sehingga saudaranya lari ketakutan dan pergi memberitahu kepada orangtuanya. Halimah dan Harits tidak mengerti selain melihat bahwa Muhammad tampak pucat. Kemudian hari Muhammad menceritakan “Dua orang serba putih menghampiriku dengan membawa waskom emas yang berisi salju. Mereka kemudian membaringkan aku, membuka dadaku dan mengeluarkan hatiku. Mereka mengambil noda hitam dari hatiku dan membuangnya. Kemudian mereka mencuci hati dan dadaku dengan sajlu.”[2] Makna kejadian itu adalah Muhammad dibersihkan oleh malaikat dari segala dosa dan kejahatan akibat perbuatan setan. Pernyataan ini dibenarkan lewat kata Muhammad dalam sebuah Hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari “ semua anak Adam pada saat dilahirkan disentuh oleh setan, kecuali Maria dan Anaknya.”
Pada usia 6 tahun, Muhammad kehilangan ibunya. Sebelumnya ibunya hendak membawanya ke Yathrib tempat saudara-saudaranya. Namun saat perjalanan pulang Aminah jatuh sakit dan meninggal di Abwa’, sebuah kampung tak jauh dari Yathrib. Barakah budak setia Aminah membawa pulang Muhammad dan memberinya kepada kakeknya, ‘Abd al-Muththalib untuk diasuh. Kakeknya mencintai Muhammad lebih dari yang lain sehingga ia selalu diajak oleh sang kakek kemanapun termasuk ke pertemuan tua-tua Quraishy. Setelah kakeknya meninggal, ia menyerahkan Muhammad kepada Abu Thalib saudara ‘Abd Allah (ayah Muhammad). Abu Thalib dan Fatimah mengasuh Muhammad lebih dari anak-anknya yang lain.

Bahira, sang Biarawan Kristen Bernubuat

Abu Thalib merupakan seorang saudagar dagang namun masih tergolong miskin sehingga Muhammad harus menggembalakan kawanan domba di padang gurun. Pada usia 9 tahun Abu Thalib mengajaknya dalam perjalanan dagang menuju Syria. Dekat Syria yakni di Busra terdapat pertapaan yang turun temurun diwariskan dari satu kepada yang lain. Pertapaan itu dekat dengan tempat singgah para saudagar yang pergi atau pulang dari Makkah ke Syria. Pertapaan itu dihuni Bahira dengan banyak manuskrip tua yang diwariskan dari pertapa pendahulu.
Salah satu manuskrip berisi ramalan akan adanya seorang nabi baru, seorang Arab. Setelah banyak karavan saudagar yang lewat, ia mendapat penglihatan yang aneh ketika rombongan Abu Thalib lewat. Ada awan menggantung begitu rendah yang memayungi rombongan itu. Ketika rombongan berhenti, awan pun turut berhenti. Ia langsung berfikir akan tanda-tanda hadirnya nabi baru seturut buku yang dibacanya[3]. Melihat itu, ia segera mengeluarkan perbendaharaan makanan dan mengundang rombongan itu untuk makan di biaranya.
Rombongan dengan senang hati turuti undangan tetapi Muhammad tetap menjaga kawanan unta. Bahira mengamati tamunya tetapi tak ada yang sesuai dengan kriteria yang ada pada bukunya sehingga ia bertanya “ Inikah rombongan kalian semua ?” “Ya inilah kami semua” Jawab mereka. Sesaat mereka sadar akan Muhammad dan memberitahukannya kepada Bahira. Bahira menyuruh memanggilnya karena tak ada yang boleh tertinggal. Rombongan menjadi malu dan berharap Muhammad tidak akan mendatangkan kesulitan bagi mereka sebab mereka telah kurang sipan kepada Bahira.
Sepanjang jamuan Bahira memperhatikan Muhammad. Seusai pesta, ia mendekati anak muda tersebut dan berbicara dengannya. Ia bertanya tentang segala kehidupan anak itu sampai-sampai Bahira mohon untuk melihat punggungnya dan Muhammad mengijinkanya. Setelah itu Bahira bertemu dengan Abu Thalib dan bertanya “ bagaimana hubunganmu dengan anak itu?” Abu Thalib menjawab “ ia anakku.” “Ia bukan anakmu dan tak mungkin ayah anak itu masih hidup”, lanjut Bahira. Abu Thalib menjawab “Ia adalah anak saudaraku. Ayahnya telah meninggal ketika ia masih di kandungan ibunya.” Selanjutnya ia bernubuat; “Bawalah segera ank saudaramu ini pulang ke negerinya. Jagalah dia dari Bangsa Yahudi. Sebab, demi Allah, kalau mereka tahu mengenai anak itu seperti yang saya tahu, mereka pasti akan mencelakan anak itu. Anak saudaramu ini akan menjadi orang besar”.[4]

Menikah dengan Siti Khadijah

Nama yang disematkan kepada Nabi Muhammad sangat cocok dengan sifat dan kelakuannya. Sejak kecil Muhammad sudah sangat terkenal dengan kejujuran dan kesetiaannya. Ia selalu menjauhkan diri dari perbuatan buruk. Hal ini membuat nama Nabi Muhammad cukup populer dikalangan masyarakat Makkah. Beliau sangat disenangi banyak orang dan diberi julukan Al-Amiin yang berarti orang jujur.[5] Kejujuran dan kesetiaannya membuat banyak saudagar yang tertarik dan mengajaknya untuk ikut dalam rombongan dagangan mereka dan mempercayakan Nabi Muhammad untuk mengawal dagangannya. Reputasinya yang baik juga menghantarnya untuk mengenal seorang janda kaya yang bernama Siti Khadijah yang sudah lama tertarik pada kepopuleran Nabi Muhammad.[6] Khadijah sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang ke Syam. Namun ketika mendengar kabar tentang kejujuran Nabi, maka ia mencoba meminta Nabi untuk mengawal dagangannya ke Syam dengan janji akan memberi upah yang cukup memuaskan. Nabi datang dan memenuhi permintaan Khadijah.
Dalam perjalanannya ke Syam Nabi ditemani oleh Maisarah, seorang kepercayaan Siti Khadijah. Maisarah diberi pesan oleh Khadijah untuk mencatat apa yang terjadi dalam perjalananya bersama Nabi Muhammad. Selama perjalanan Maisarah sangat takjub pada budi pekerti dan kejujuran Nabi, baik dalam berbicara maupun dalam berdagang. Semua kelakuan nabi diceritakan Maisarah kepada Khadijah.
Beberapa tanda kenabian yang dicatat oleh Maisarah selama perjalanannya bersama Nabi Muhammad adalah selama perjalanan selalu ada sekelompok awan yang menaungi dan melindungi rombongan mereka dari panasnya cahaya matahari dan perjalanan yang biasanya di tempuh dalam sebulan kini mereka dapat sampai lebih cepat. Selain itu dagangan Muhammad mendapat sambutan baik dari masyarakat dan habis terjual dalam waktu yang singkat. Maisarah juga mencatat bahwa Muhammad serta rombongannya mendapat undangan dari seorang pendeta Kristen. Muhammad disambut di rumah pendeta sebagai tamu terhormat serta dijamu dengan makanan dan minuman.[7]
Setelah kembali dari berdagang, nabi dengan jujur menyerahkan semua hasil dari keuntungan yang diperolehnya. Hal ini membuat Khadijah tertarik dan simpati kepada Nabi dan berhasrat untuk menikahi Nabi. Nabi Muhammad tidak keberatan dengan ajakan itu walaupun Khadijah lima belas tahun lebih tua dari padanya. Pada saat itu Nabi baru berusia 25 tahun. Dalam perkawinan mereka, Abu Thalib, paman Nabi bertindak sebagai wali Nabi yang meminang Khadijah atas nama Nabi Muhammad.
Siti Khadijah adalah orang pertama yang dinikahi oleh nabi.[8] Hidup perkawinanya dengan Nabi sangat rukun dan melahirkan enam orang anak. Dua orang laki-laki (Qasim dan Abdullah) dan empat orang wanita ( Zainab, Ruqayyah, Fathimah dan Ummu Kaltsum). Nabi sangat menyayangi Khadijah. Khadijah juga merupakan orang pertama yang menganut agama Islam yang disebarkan oleh Nabi. Meskipun telah berumah tangga, Muhammad tidak pernah meninggalkan keutamaannya. Ia terus menolong orang sehingga kepercayaan penduduk Makkah kepadanya kian bertambah. Banyak  juga dari mereka yang menitipkan uangnya kepada beliau dengan senang hati.[9]

Membangun Kembali Ka’bah

Ketika Nabi berumur tiga puluh lima tahun, bangsa Quraisy sepakat untuk membangun kembali Ka’bah[10] yang mengalami kerusakan akibat bencana banjir. Banjir juga menyebabkan Hajarol Aswad yang berada di dalam Ka’bah berpindah dari tempatnya. Pada awalnya pembangunan Ka’bah dikerjakan dengan meruntuhkan bangunan aslinya. Kemudian dibangun kembali dengan batu-batu yang disusun secara rapi secara gotong- royong. Batu-batu itu diambil dari gunung yang terdekat. Setelah bangunan itu kira-kira setinggi manusia, orang-orang Quraisy berselisih paham untuk menentukan siapa yang akan memindahkan batu Hajarol Aswad. Semua orang ingin memindahkannya. Mereka bersaing untuk mendapat kehormatan dan kemuliaan sebagai orang yang memindahkan Hajarol Aswad ke tempatnya semula. Tidak ada satupun kepala suku yang mau mengalah. Karena itu hampir saja terjadi perang saudara antar kaum Quraisy di Makkah.[11]
Dalam keadaan tegang ada seseorang yang mengusulkan bahwa pemindahan Hajarol Aswad akan dilakukan besok pagi oleh orang yang pertama kali masuk ke dalam Masjidil Haram. Mereka semuanya menyetujui usul itu. Keesokan paginya semua kaum Quraisy sudah menunggu untuk melihat siapa orang pertama yang akan masuk ke dalam Masjidil Haram. Dan pada waktu itu Nabi Muhammadlah yang menjadi orang pertama yang memasukinya. Dengan demikian mereka meminta Nabi untuk memindahkan Hajarol Aswad.
Dengan senang hati Nabi menerima permintaan mereka. Namun Nabi memiliki kebijaksanaan supaya tiap-tiap kepala suku dapat merasakan dengan tangannya untuk mengangkat dan memindahkan Hajarol Aswad itu ke tempatnya yang semula.[12] Nabi menghamparkan sorbannya dan meletakkan Hajarol Aswad di atas sorban itu. Setelah itu ia memerintahkan kepada setiap kepala suku Quraisy untuk memegang ujung sorban dan mengangkatnya secara bersama-sama sampai dekat tempatnya semula. Dan selanjutnya dengan tangannya sendiri Nabi memindahkan Hajarol Aswad itu ke tempatnya semula.
Dengan cara demikian Nabi telah mempersatukan kaumnya yang saling bersaing. Mereka semua merasa senang dan puas. Karena setiap kepala suku merasa bahwa mereka mendapat kemuliaan dan kehormatan masing-masing. Begitupun juga dengan Nabi Muhammad, beliau mendapat kehormatan dan pujian dari para kepala suku Quraisy di Makkah.[13]
Melalui kebijaksanaan Nabi maka perselisihan sesama bangsa Quraisy pun dapat diselesaikan dengan damai. Memang sebagaimana sudah diketahui banyak orang bahwa sejak masa mudanya, beliau tidak mementingkan diri sendiri tetapi selalu berusaha untuk mementingkan hubungan baik dengan siapa saja. Perasaan kemanusiaannya sangat luar biasa dan kuat dalam jiwanya. Setelah dewasapun beliau banyak memikirkan hal-hal yang menyangkut kehidupan masyarakat.[14]


[1] Bey Arifin et Yunus A. Muhdhar, Riwayat Hidup Rasulullah SAW (Surabaya, Bina Ilmu, 1983), hlm. 72.
[2] Bey Arifin et Yunus A. Muhdhar, Riwayat Hidup..., hlm.73.
[3] Bey Arifin et Yunus A. Muhdhar, Riwayat Hidup..., hlm.75.
[4] A.Guillame, the Life of Muhammad, (Karachi : Oxford University Press, 1978), hlm.79-81.
[5] Bey Arifin et Yunus A. Muhdhar, Riwayat Hidup..., hlm. 79.
[6] Musannif Effendi, Sejarah Nabi Muhammad S.A.W (Jakarta, M. A. Jaya, 1977), hlm. 35.
[7] Musannif Effendi, Sejarah Nabi…, hlm. 40-41.
[8] A.Guillame, the Life of Muhammad..., hlm.82-83.
[9] Musannif Effendi, Sejarah Nabi…, hlm. 42-43.
[10] Ka’bah  berasal dari bahasa Arab yang berarti kubus. Bangunan itu pertama kali dibangun oleh Abraham dan Ismael yang sekarang berada di tengah tengah Masjid Agung Makkah.
[11] Musannif Effendi, Sejarah Nabi…, hlm. 44.
[12] Musannif Effendi, Sejarah Nabi…, hlm. 45.
[13] Bey Arifin et Yunus A. Muhdhar, Riwayat Hidup…, hlm. 81-82.
[14] Musannif Effendi, Sejarah Nabi…, hlm. 47.

Komentar

Postingan Populer