Islam Masa Khalifah I


Pengertian Khalifah

Kata ini mulai terkenal dalam sejarah keIslaman sejak wafatnya Muhamad. Kata ini disematkan kepada orang-orang yang menggantikan Muhamad untuk memimpin umat-umat Islam yang kala itu baru saja berkembang.[1] Kata "Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti Nabi Muhammad sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga menggantikannya sebagai penguasa sebuah entitas kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain sebagainya.[2]
Dengan demikian, semakin jelaslah pengertian dari kata ini sendiri, yakni pengganti atau kata lainnya ialah wakil untuk gelar jabatan pemimpin keagamaan atau pemerintahan. Kata ini sendiri juga terdapat pada surat al-Baqarah ayat 30, yang tertulis sebagai berikut: “sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang Khalifah (pemimpin) di atas bumi”.[3] Pada intinya kata ini sendiri memang ingin menunjukan kekhususannya pada pengertian kepemimpinan atau perwakilan, yang khas untuk orang-orang yang berfungsi sebagai pengganti Muhamad, namun bukanlah sebagai nabi, melainkan sebagai pemimpin agama dan pemerintahan bagi kalangan umat Islam sepeninggalan Muhamad sendiri.

Abu Bakar as Shiddiq

Tokoh yang melatar belakangi kekhalifahan ini yaitu Abu bakar Ash Shiddiq yang lahir pada tahun 568 M atau 55 tahun sebelum hijrah yang menjadi khalifah pertama dari Khulafa’ur Rasyidun, sahabat dari Nabi Muhammad SAW. Pada masa kecilnya Abu Bakar bernama Abdul Ka’bah. Nama ini diberikan kepadanya sebagai realisasi nazar ibunya sewaktu mengandungnya. Kemudian nama tersebut diganti oleh Nabi Muhammad SAW menjadi Abdullah bin Khuafah.[4]
Ayah Abu Bakar bernama Uthman Abu Quhafa (panggilan Abu Quhafa) dan ibunya bernama Salma binti Sakhar (panggilan Umm-ul-Khair). Abu Bakar menghabiskan masa kecilnya seperti anak Arab pada zaman itu di antara suku Badui yang menyebut diri mereka dengan nama Ahl-i-Ba'eer atau rakyat unta. Pada masa kecilnya, Abu Bakar sering sekali bermain dengan dengan unta dan kambing, dan kecintaannya terhadap unta inilah yang memberinya nama "Abu Bakar" yang berarti, bapaknya unta.[5]
Abu Bakar dikenal sebagai orang yang terpandang yang suka menolong orang. Oleh karena itu dia dicintai kaumnya. Abu Bakar semenjak masuk Islam beliau sangat giat berdakwa kepada beberapa sahabatnya. Karena itu berkat berdakwa yang dilakukan beliau Islam mendapat pengikut yang lumayan besar jumlahnya. Orang-orang yang masuk Islam di tangan Abu Bakar termasuk Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin Auf, Saad bin Abi Waqas, Talhan bin Ubaidillah. Semua datang kepada Rasurullah untuk menyatakan keIslamannya. [6]

Kondisi Masyarakat Sepeninggal Muhammad SAW

Meninggalnya Rasulullah pada usia 63 tahun, meninggalkan kesan dan pengaruh yang kuat kepada kaum muslimin. Meskipun mereka baru saja menerima fatwa-fatwa bahwa seorang nabi tidak dapat hidup selama-lamanya dan rasul akan menemui Tuhan, para sahabat sebagai pahlawan-pahlawan yang ulung dan pemberani, juga sempat panik. Banyak diantara mereka yang tidak mempercayai berita wafatnya Rasul yang datang dengan tiba-tiba. Setelah Abu Bakar mendengar kabar tersebut, ia segera menemui orang-orang yang sedang berkerumun untuk menenangkan dan menghilangkan kebingungan mereka. Abu Bakar berpidato: “Wahai manusia, barang siapa yang memuja Muhammad, Muhammad telah mati,tetapi siapa yang memuja Tuhan, tuhan hidup selama-lamanya, tiada mati-matinya” Kemudian ia membaca ayat yang memperkuat apa yang diucapkannya.
Dengan wafatnya Rasul, maka umat Islam dihadapkan dengan masalah sangat Kritis. Sebagaian dari mereka bahkan ada yang menolak iIslam. Ada golongan yang murtad, ada yang mengaku dirinya sebagai nabi, golongan tidak mau membayar zakat. yang masih tetap patuh kepada agama Islam adalah penduduk Makkah, Madinah dan Thaif. Mereka tetap memenuhi kewajiban dan mau mengorbankan apa yang mereka miliki untuk mengembalikan kejayaan Islam.

Sistem Pemilihan Khalifah

Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad, dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?
Setelah melalui beberapa pendiskusian, akhirnya Abu Bakar tampil sebagai pengganti Muhamad, dan mendapat persetujuan bersama. Namun dalam perkembangan selanjutnya terdengar pula suara ketidak sepakatan dalam hal itu.
Timbulah pertanyaan, “Apakah syarat-syarat untuk menjadi Khalifah?” menurut kalangan Sunni, khalifah haruslah seorang pria, dewasa, waras, merdeka (bukan budak), berilmu, punya kemampuan, seorang yang adil, dan dari suku Quraisy (suku asal Muhamad). Kalangan Syi’ah berpendapat bahwa khalifah harus berasal dari keturunan keluarga Muhamad sendiri. Hal ini pun ditolak oleh kalangan Sunni, shingga menimbulkan perselisihan sendiri di antara mereka.[7]
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di Muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini. Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa, mereka mengajukan calon Sa’ad ibn Ubada. Kaum Muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan calon Abu Ubadah ibn Jarrah. Sementara itu dari Ahlul Bait menginginkan agar Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi bahkan adu fisik. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jamaah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah.
Ada beberapa faktor yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, yaitu: [8]
1.         Menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah (pemimpin) haruslah berasal dari suku Quraisy; pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “al-aimmah min Quraisy” (kepemimpinan itu di tangan orang Quraisy).
2.         Sahabat sependapat tentang ketokohan pribadi Abu Bakar sebagai khalifah karena beberapa keutamaan yang dimilikinya, antara lain: laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam, ia satu satunya sahabat yang menemani Nabi SAW pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah 21 dan ketika bersembunyi di Gua Tsur, ia yang ditunjuk oleh Rasulullah untuk mengimami shalat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia.
3.         Beliau sangat dekat dengan Rasulullah SAW, baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan. Sebagai khalifah Abu Bakar mengalami dua kali baiat. Pertama di Saqifa Bani Saidah yang dikenal dengan Bai’at Khassah dan kedua di Masjid Nabi (Masjid Nabawi) di Madinah yang dikenal dengan Bai’at A’ mmah.

Latar Belakang Kepemimpinan Abu Bakar

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saadah untuk membicarakan tampuk pimpinan, sebagai pengganti beliau. Abu Bakar yang memimpin rapat waktu itu berkata:’’Kami dari keturunan Quraisy, maka pimpinan juga dari golongan kami.” Saat perdebatan antara dua kubu tersebut memuncak, Abu Bakar melanjutkan perkataannya: “Orang Arab tidak bakal mampu menyelesaikan persoalan tanpa orang Quraisy. Rasulullah pernah bersabda:setelah aku, persoalan (kepemimpinan) ini ada di tangan orang-orang Quraisy” Kemudian ia berkata seorang sahabat dari Anshar, Basyir bin Saad, “Apakah kamu pernah mendengar rasul bersabda bahwa para pemimpin adalah dari orang Quraisy?” Basyir menjawab: “Demi Allah, ya”.[9] Menurut al-Baladziri, ketika Rasulullah wafat, Umar bin Khattab mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah: “Aku membaiatmu”, kata Umar. Seperti diketahui bahwa umar bin Khattab adalah seorang tokoh Quraisy, begitu juga Abu Ubaidah bin Jarrah.
Tatkala pembaitan jatuh di tangan Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib merasa tidak puas. Abu Ubaidah menemuinya, lalu berkata: “Hai putra pamanku, engkau masih muda, sedangkan mereka adalah sesepuh kaummu (sesepuh Quraisy), pengetahuan dan penga lamanmu belum cukup jika dibandingkan dengan mereka. Dalam hal ini Abu Bakar lebih unggul dan cakap dari kamu. Terimalah dia Sesungguhnya jika engkau diberi umur panjang, kelak engkau akan mendudukinya”.

Kebijakan-kebijakan Pemerintah

Maju mundurnya suatu pemerintahan akan sangat bergantung kepada pemegang kekuasaan. Sehubungan dalam periode Khulafa’ al-Rasyidin Abu Bakar adalah khalifah (pemimpin Negara) yang pertama. Maka kualitas seorang khalifah memberi contoh tersendiri dalam menentukan kebijakan-kebijakan di berbagai bidang yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakst yang dipimpinnya. Demikian pula dalam mengatasi berbagai krisis dan gejolak yang muncul dalam pemerintahannya.

Memerangi Kaum Riddah

Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar dihadap pada keadaan masyarakat sepeninggalan Muhammad SAW. Ia bermuSAWarah dengan para sahabat untuk menentukan tindakan yang harus diambil dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.[10]
Beberapa suku Arab yang berasal dari daerah Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi.[11] Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Riddah. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habi al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah al-Kazzab (Musailamah si pendusta), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhamad. Pasukan Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid. Sedangkan Musailamah sendiri terbunuh di tangan Al Wahsyi, seorang mantan budak yang dibebaskan oleh Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan karena telah berhasil membunuh Hamzah Singa Allah dalam Perang Uhud. Al Wahsyi kemudian bertaubat dan memeluk agama Islam serta mengakui kesalahannya atas pembunuhan terhadap Hamzah paman nabi Muhammad. Al Wahsyi pernah berkata, "Dahulu aku membunuh seorang yang sangat dicintai Rasulullah (Hamzah) dan kini aku telah membunuh orang yang sangat dibenci rasulullah (yaitu nabi palsu Musailamah al-Kazab)."

Qur'an

Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur'an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-kadzdzab dalam perang Riddah atau juga dikenal dengan perang yamamah, banyak para penghafal Al Qur'an yang terbunuh dalam pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, dikumpulkan lembaran al-Qur'an dari para penghafal al-Qur'an dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar. setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al-Qur'an yang dikenal saat ini.[12]

Abu Bakar Wafat

Ketika ABu Bakar Ash-Shiddiq masih terbaring lemah karena sakit, Aisyah datang menemui bapaknya dan menangis. Abu Bakar Ash-Shiddiq pun melarangnya. Aisyah kemudian duduk di dekat bapaknya seraya membacakan beberapa syair tentang duka cita.
Tatkala sakit Abu Bakar Ash-Shiddiq semakin parah, dia mulai bermusyawarah dengan para sahabat tentang penggantinya, yakni Umar bin Khattab. Abu Bakar bertanya kepada Abdurrahman bin Auf dan dijawab, "Dia lebih baik dari apa yang engkau perkirakan wahai Khalifah Rasulullah." Abu Bakar kemudian bertanya kepada Utsman bin Affan dan dia menjawab, "Menurut pengetahuanku, apa yang tersembunyi darinya lebih baik dari apa yang tampak darinya.
Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian memanggil Utsman bin Affan dan berkata kepadanya, "Tulislah wahai Utsman, ini perintah Abu Bakar bin Abu Quhafah pada akhir hayatnya, menjelang keluar ruh darinya dan pada permulaan masanya menuju akhirat. Sekiranya orang yang berdusta berkata jujur, orang yang fajir yakin dan orang yang kafir beriman, sungguh aku telah mencari pengganti bagi kalian." Sesudah itu ia pingsang sebelum menyebutkan nama.
Lalu Utsman bin Affan menuliskan: "Telah kucarikan pengganti atas kalian, yaitu Umar bin Khattab." Hal itu lantaran dia khawatir bilamana Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq meninggal sebelum menentukan nama sehingga kaum muslimin berselisih mengenai siapakah pengganti sesudahnya. Utsman melakukan hal ini karena dia mengetahui bahwa Abu Bakar telah meminta pendapatnya mengenai penggantinya, yaitu Umar bin Khattab.
Tatkala Abu Bakar As-Siddiq telah siuman, dia lantas berkata kepada Utsman bin Affan, "Bacakanlah apa yang telah kau tuliskan." Utsman kemudian membacanya, "Telah kuangkat Umar bin Khattab menjadi penggantiku bagi kalian." Mendengar hal itu, As-Shiddiq berkata, "Allahu Akbar! Aku melihat engkau khawatir jika aku meninggal sehingga umat bisa berelisih dan diantara mereka terjadi fitnah, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dari Islam dan Kaum Muslimin, wahai Utsman."
Setelah itu Abu Bakar Ash-Shiddiq mengumpulkan kaum muslimin dan berkata, "Wahai sekalian kaum Muslimin! Sesungguhnya aku hendak menuju negeri akhirat dan keluar dari dunia ini. Sesungguhnya, aku telah memilih untuk kalian sebagaimana yang tertulis di dalam lembaran ini. Maka dengarkan dan taatilah. Apakah kalian akan menerima seseorang yang telah kumusyawarahkan dengan para sahabat dan kupilihkan untuk kalian?" Mereka menjawab, "Kami ridha!" Ali bin Abu Thalib kemudian berdiri seraya berkata, "Kami tidak ridha kecuali yang akan menjadi penggantinya adalah Umar bin Khattab." Abu Bakar Ash-Shiddiq pun lantas tersenyum dan berkata, "Dia adalah Umar bin Khattab. Maka dengarkanlah dan taatilah dia. Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu pun tentangnya kecuali kebaikan."


                [1]KH. Abdurrahman Wahid Dkk, Leksikon Islam, (Jakarta; PT Penerbit Pustakazet Perkasa, 1988), hlm.310
                [2] https://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah#Etimologi
                [3]KH. Abdurrahman Wahid Dkk, Leksikon Islam. hlm.310
                [4] Haekal Muhammad Husain. Abu Bakar As-siddiq, (Bogor : Litera Antarnusa, 2003), hlm.29
                [5] Haekal Muhammad Husain. Abu Bakar As-siddiq.hlm.31
                [6] Haekal Muhammad Husain. Abu Bakar As-siddiq.hlm.32
                [7] KH. Abdurrahman Wahid Dkk, Leksikon Islam. hlm.310
                [8] Haekal Muhammad Husain. Abu Bakar As-siddi. hlm.65
                [9] Haekal Muhammad Husain. Abu Bakar As-siddiq, hlm.76
                [10] KH. Abdurrahman Wahid Dkk, Leksikon Islam. hlm.322
                [11] KH. Abdurrahman Wahid Dkk, Leksikon Islam. hlm.324
                [12] Haekal Muhammad Husain. Abu Bakar As-siddiq,hlm.89

Komentar

Postingan Populer