Perang Badar Kubra



Nabi Muhammad mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkankan agama Islam secara terang-terangan kepada seluruh bangsa Quraisy[1]. Banyak dari mereka yang membuka diri dan masuk ke dalam Islam terutama dari golongan lemah. Perkembangan agama Islam yang pesat menjadikan hati kaum Quraisy khawatir akan keberadaan agama nenek moyang mereka. Dalam dakwahnya, Nabi Muhammad selalu menyadarkan bangsa Quraisy akan kelemahan berhala yang mereka sembah. Hal ini menimbulkan kebencian bagi bangsa Quraisy terhadap kaum Muslimin. mereka melancarkan segala macam siksaan dan penindasan serta merampas harta milik kaum Muslimin.[2]
Ketika Nabi Muhammad melihat keganasan kaum Quraisy, ia menyuruh kaum Muslimin untuk meninggalkan kota Makkah. Sedangkan Nabi Muhammad dan beberapa kawannya berhijrah ke Yathrib (disebut juga dengan Medinah oleh Kaum Anshar) setelah meninggalnya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib. Ia disambut baik di kota Yathrib. Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di Medinah dan menjalin hubungan yang harmonis dengan kaum Anshar, timbul masalah mengenai kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup Muhammad dan kawan-kawannya bergantung pada kaum Anshar. Persoalan ini membuat Muhammad mengambil tindakan untuk melakukan perampokan pada karavan Makkah, sekaligus menuntut balas kepada kaum Quraisy. Kerja sama kaum Muhajirun (kaum imigran dari Makkah termasuk Muhammad dan kawan-kawan) dan kaum Anshar, berusaha untuk memotong perekonomian di Makkah.[3]

Persiapan Perang

Pada permulaan musim gugur tahun kedua Hijrah, Kafilah dagang Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan[4] membawa dagangan yang cukup besar menuju Syam. Ketika Nabi Muhammad mendengarnya, ia memerintahkan kaum Muslimin beserta kaum Anshar untuk mencegat dan merampas barang dagangan mereka. Rencana pencegatan itu diketahui oleh Abu Sufyan. Kemudian ia mengutus Dandam Amer al-Ghifari ke Makkah untuk memohon bantuan, sementara ia mengubah rute perjalanan melalui pantai Laut Merah.[5]
Nabi Muhammad beserta para sahabat berjalan menuju Badar[6] dan mengambil posisi yang menguntungkan. Jumlah pasukan kaum Muslimin hanyalah 313 orang: 240-an orang dari kalangan Anshar, sisanya dari kalangan Muhajirin. Mereka membawa 2 ekor kuda dan 70 ekor unta. Setiap unta ditunggangi secara bergantian oleh dua atau tiga orang. Panji kaum Muslimin di bawa oleh Mus’ab bin ‘Umair.[7] Ketika Muhammad dan pasukannya berkemah di bukit sisi mata air Badar, didengar berita bahwa orang-orang dari Quraisy Makkah telah mengirim bala bantuan yang dipimpin oleh Abu Jahal. Bantuan itu bertujuan untuk menyelamatkan dagangan mereka yang berjumlah tiga kali lipat dari jumlah pasukan Muslim.
Melihat jumlah pasukan yang tidak sebanding ini, Muhammad kemudian melakukan perundingan dengan pasukannya. Namun ketika Muhammad meminta ketegasan dari para pengikutnya, semuanya sepakat bahwa mereka harus maju dan berperang. [8] Di lembah Badar, kaum Muslimin membangun sebuah panggung untuk tempat nabi Muhammad. Panggung tersebut dibangun di atas agar Muhammad dapat menyaksikan jalannya peperangan dan langsung memberikan perintah pada pasukan yang sedang berjuang.[9] Keesokan harinya Muhammad memimpin pasukannya ke mata air Badar agar bisa mendahului pasukan Quraisy dan menghalangi mereka untuk menguasai mata air itu. Keputusan untuk menduduki mata air merupakan siasat dan taktik perang Muhammad.
Kaum Quraisy unggul dalam jumlah dan merasa tidak ada gunanya berperang karena yakin bahwa kemenangan ada pada pihak mereka. Beberapa dari mereka mengusulkan untuk kembali, Sebab tidak ada gunanya berperang melawan saudara-saudara sendiri. Tetapi Abu Jahal tidak setuju dan memutuskan untuk maju berperang. Pasukan Quraisy tiba di Badar sebelum pasukan Islam dan mengambil tempat di belakang bukit 'Aqanqal. Sementara pasukan Quraisy menghabiskan waktunya di al-Udwatul Qushwa. Pada pagi harinya seluruh pasukan Quraisy turun dari atas bukit pasir sampai tiba di lembah Badar. Akhirnya dua pasukan itu saling berhadapan satu sama lain.[10]

Peristiwa Pertempuran

Pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah (17 Maret 624 Masehi), pada pagi kesokan harinya, kedua pasukan sudah saling mengatur barisannya masing-masing. Pasukan Muslim membelakangi matahari sedangkan pasukan Quraisy menghadap matahari. Setelah kedua pasukan saling berhadapan, Muhammad bersabda, ‘‘Ya Allah, orang-orang Quraisy datang dengan kecongkakan dan kesombongannya. Mereka memusuhi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu.Ya Allah, aku mengharapkan pertolongan-Mu seperti yang telah Engkau janjikan kepadaku.Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini.”[11]
Pertempuran diawali dengan duel satu lawan satu. Orang yang pertama kali menyulut api pertempuran adalah al-Aswad bin Abddul Asad al-Makhzumi, seorang laki-laki dengan perangai kasar dan buruk akhlaknya. Kedatangannya langsung disambut Hamzah bin Abdul Muththalib. Setelah saling berhadapan, Hazmah langsung menyabetkan pedangnya, sehingga kaki al-Aswad putus di bagian betis. Setelah itu, al-Aswad merangkak ke kolam hingga tercebur di dalamnya. Tetapi, Hamzah segera menghunuskan pedangnya sekali lagi ketika Aswad berada di dalam kolam.[12]
Setelah itu muncul tiga penunggang kuda Quraisy yang handal. Mereka berasal dari satu keluarga, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Sya’ibah bin Rabi’ah, dan al-Walid bin Utbah. Dari pihak Muslim keluar tiga pemuda Anshar yaitu Auf bin al-Harits, Mu’awwidz bin al-Harits, dan Badullah bin Rawahah. Namun, orang-orang Quraisy menolak bertempur melawan mereka dan menginginkan orang-orang yang sepadan dan terpandang. Muhammad segera menyuruh Ubaidah bin al-Harits, Hamzah, dan Ali. Ubaidah yang paling tua di antara mereka, berhadapan dengan Utbah bin Rabi’ah, Hamzah berhadapan dengan Syaibah, dan Ali berhadapan dengan al-Walid. Hamzah dan Ali tidak terlalu kesulitan mengalahkan lawan tandingnya. Sedangkan Ubaidah dan lawannya saling melancarkan serangan dan saling melukai. Kemudian Hamzah dan Ali menghampiri Utbah lalu membunuhnya. Setelah itu, mereka memapah tubuh Ubaidah yang sudah lemah, karena kakinya tertebas hingga putus. Ia sama sekali tidak mengeluh hingga meninggal dunia di ash-Shafra’, di tengah perjalanan pulang ke Madinah .[13]

Puncak Pertempuran

Kekalahan adu-tanding merupakan awal yang buruk bagi orang-orang Quraisy, mereka kehilangan tiga orang penunggang kuda yang sekaligus komandan pasukan. Kemarahan mereka memuncak, lalu mereka menyerang pasukan kaum Muslimin secara serentak dan membabi-buta. Serentak pihak Muslim atas perintah Muhammad maju meyerbu dengan penuh semangat yang sudah tertanam dalam jiwa mereka. Kaum Muslim bertempur hebat dengan bantuan para malaikat. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Sa’ad, dari Ikrimah, bahwa ia berkataPada saat itu ada kepala orang Quraisy yang terkulai, tanpa diketahui siapa yang telah memotongnya. Ada pula tangan yang putus, tanpa diketahui siapa yang menyabetnya.” Tanda-tanda kegagalan dan kebimbangan mulai menyelimuti barisan pasukan Quraisy. Banyak korban berjatuhan karena serangan pasukan Muslim yang gencar. Kematian Abu Jahal sekaligus menandai akhir dari peperangan besar tersebut. Perang berakhir dengan kekalahan telak di pihak kaum Quraisy dan kemenangan bagi pihak Muslim.

Akibat Perang Badar

Terdapat beberapa akibat dari perang Badar al-Kubrā (yang besar), yaitu kebanggaan dari pihak Muslim sebagai pemenang dalam perang. kemenangan mereka diyakini mendapat campur tangan Allah yang menghalau musuh mereka. Dari pihak Muslimin terdapat empat belas orang yang gugur syahid (enam Mujahirin dan delapan Anshar). Bangkai kaum Quraisy (musyrikin) dilemparkan ke dalam sebuah lubang sumur. Kaum Musyrikin Quarisy memiliki korban tujuh puluh orang meninggal dan tujuh puluh orang tertawan. Mereka yang tinggal di Makkah, menjadi gentar dan tidak memperlakukan kaum Muslim dengan semena-mena. Selain itu, ada juga pertikaian mengenai hasil rampasan perang dan pengusiran orang Yahudi bani Qaynuqa dari kampung mereka.[14]
Setelah perang usai, nabi Muhammad berangkat ke Madinah dan kelompok Quraisy kembali ke Makkah dalam kelompok-kelompok kecil. Semua orang yang memusuhi kaum Muslimin menjadi takut dan banyak yang masuk Islam.  Orang-orang Muslim yang masih tinggal di Makkah sebagai tawanan perang diperlakukan dengan baik agar tentara Makkah yang di Madinah diperlakukan dengan baik pula oleh tentara Muslim. Di lain pihak, Abu Sufyan masih merasa sakit hati atas kekalahan kaum Quraisy dari pasukan Muslim.[15]

Pertikaian Mengenai Rampasan Perang

Setelah perang usai, pasukan Muslim memperoleh tawanan dan banyak hasil rampasan perang. Rampasan yang dimaksud adalah segala materi perlengkapan perang, sebab barang jarahan yang dimaksud telah lolos karena tindakan kaum Muslimin telah diketahui oleh Abu Sufyan. Para pengikut Muhammad yang ikut dengan maksud merampok mempermasalahkan hasil rampasan perang itu. Semua merasa berhak atas hasil rampasan tersebut. Kaum muda yang ikut berperang merasa lebih berhak daripada kaum tua. Sebab kaum tua dianggap hanya sebagai penasihat, dan kaum mudalah yang berkorban secara total yang mempertaruhkan hidup dan mati. Muhammad dituntut berlaku bijaksana dan adil. Muhammad ingin membagikan sebagian dari hasil rampasan itu kepada para pahlawan perang (badryyīn)[16]. Namun, agar hal itu tidak terulang lagi, Allah menurunkan wahyu-Nya yang lebih jelas untuk ditaati tentang pembagian hasil rampasan perang:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnus sabil (Musafir), jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan (hari yang menentukan), yaitu di hari bertemunya dua pasukan, dan Allah Yang Maha Kuasa segala sesuatu.” (Q.8: 41).[17]
Banyak tawanan dari perang Badar tersebut yang bebas setelah ditebus dengan sejumlah uang,[18] ada yang beralih menganut agama Islam dan diampuni. Yang tidak mampu menebusnya harus mengajar sepuluh anak kaum Muslimin untuk membaca dan menulis demi memperoleh kebebasan mereka. Sedangkan yang tidak mempunyai apa-apa dibebaskan Muhammad dengan murah hati.[19]

Pengusiran Bani Qaynuqa

Orang-orang Yahudi menolak untuk percaya kepada Muhammad, bahwa dia adalah seorang nabi yang diutus oleh Allah. Walau secara politis mereka menandatangani piagam Madinah, namun dalam praksis hidup antara orang Yahudi dan orang Arab sering terjadi perselisihan.[20] Wahyu Allah yang keras juga sering diwarnai bagi orang-orang Yahudi yang dekil hatinya. Digambarkan dalam Al-Qur’an bahwa mereka adalah orang-orang yang bergembira jika orang Islam sengsara, sebaliknya mereka sedih kalau melihat orang Islam sukses. Mereka menghendaki kejatuhan orang Islam dan melarang Islam untuk dijadikan sebagai kawan. (Q. 3:118-120).
Berbeda dengan suku Yahudi lainnya, Bani Quaynuqa tinggal campur baur dengan suku-suku Arab di Madinah. Mereka menguasai perekonomian kota. Kemenangan Muhammad dalam perang Badar diluar perkiraan mereka. Semua musuh-musuh Islam (kafir) menjadi sangat takut dan khawatir. Peringatan-peringatan wahyu yang keras mereka rasakan sebagai serangan kepada mereka. Mereka melakukan perlawanan secara lebih aktif dibandingkan suku Yahudi lain. Pasar merupakan arena yang baik untuk melemparkan provokasi. Baik melalui syair-syair pedas nan menyindir, percakapan ejekan bahkan perbuatan yang membangkitkan amarah. Salah satu ejekan mereka di pasar yang membangkitkan amarah adalah ketika mereka mengatakan kepada Muhammad agar tidak berbangga atas kemenangannya di Badar. Kata mereka, kemenangan Muhammad diakibatkan karena lawan mereka bukanlah ahli perang, mereka tidak bisa mengangkat senjata. Lebih menyakitkan lagi, orang Yahudi menambahkan, seandainya lawan Muhammad adalah orang Yahudi yang pandai berperang, maka Muhammad akan tahu bahwa orang Yahudilah yang perlu ditakuti, tetapi Muhammad tidak membalas ejekan itu.
Di hari lain, terjadi di pasar: seorang perempuan Arab bercadar pergi ke pasar untuk menjual perhiasan ke tukang emas Yahudi. Orang Yahudi itu meminta agar perempuan itu membuka cadarnya. Karena perempuan itu menolak, si Yahudi licik mengikat ujung belakang kain perempuan itu ke sesuatu tanpa diketahui oleh perempuan itu. Maka, ketika perempuan itu berdiri maka tersingkaplah bagian dalam tubuhnya. Sementara orang Yahudi lain tertawa, orang-orang Islam lain tersinggung. Salah seorang Islam itu maju dan membunuh orang Yahudi tukang emas itu. Kemudian orang Yahudi lain mengkeroyok orang Islam itu sampai mati.[21]
Peristiwa ini dipandang serius oleh kedua belah pihak yang mengakibatkan suasana menjadi tegang. Orang-orang Yahudi segera menutup pasar dan kembali ke ghetto mereka. Hal ini diartikan Muhammad sebagai tidak mau berdamai, dan memanglah demikian. Orang Yahudi yang masuk ghetto mereka dengan maksud menyiapkan pasukan perang yang mereka perkirakan berjumlah sekitar tujuh ratus orang. Sementara bersiap-siap, mereka mengutus dua orang Arab sekutu mereka dari suku Khazraj bernama Ibn Ubayy dan ‘Ubadah inn Samit untuk berunding dengan Muhammad. Karena takut kepada Muhammad dan orang-orang Islam, ‘Ubadah menarik perjanjian persekutuan dengan orang-orang Yahudi dan tidak pergi kepada Muhammad. Ibn Ubayy, walau tidak menarik persekutuannya dengan Yahudi, menunda-nunda waktu untuk berunding dengan Muhammad. Sementara Muhammad segera memerintahkan pasukan Islam untuk mengepung mereka dari segala penjuru dengan jumlah pasukan yang besar. Orang Yahudi menunggu hasil perundingan utusan mereka dengan cemas. Metode blokade ekonomi yang pernah menyakitkan Islam di Makkah dikenakan oleh orang-orang Yahudi di ghetto, karena itu tak ada barang masuk ataupun keluar dari ghetto Yahudi.
Setelah dua minggu pengepungan, orang-orang Yahudi menyerah kepada pasukan Islam. Muhammad bermaksud menghabisi mereka, sebab ia pernah mendapat wahyu agar orang-orang yang berkhianat akan perjanjian (Piagam Madinah) ditumpas sebagai pelajaran bagi yang lain (Q, 8:55-58). Namun, Ibn Ubayy meminta kepada Muhammad untuk tidak membunuh mereka tetapi membiarkan mereka meninggalkan Madinah. Muhammad awalnya enggan mengabulkan permintaan itu namun akhirnya mengabulkanya dengan syarat orang-orang Yahudi itu harus menyerahkan senjata, harta benda dan meninggalkan Madinah. Orang-orang Yahudi tidak punya pilihan lain, mereka meninggalkan Madinah dan pergi menuju Barat laut, meminta perlindungan pada suku Yahudi lain di Wadi I-Qura untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Siria, lalu menetap di situ. Setelah orang-orang Yahudi Bani Qaynuqa pergi, persatuan dan ketentraman penduduk Madinah tercipta kembali.[22] Pengaruh lain dari perang Badar adalah munculnya perang Uhud sebagai balas dendam kaum Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan.[23] Peristiwa lain saat terjadi perang adalah kematian Rukayah, putrid dari Muhammad.[24]

Badar Dalam Kenangan Muslim

Dalam kelompok Islam, perang Badar dipandang sebagai sesuatu yang berarti bagi kelangsungan hidup. Muhammad sendiri meminta kepada Allah suatu kemenangan atas perang tersebut seandainya Allah ingin tetap disembah di bumi, sebab perang ini adalah perang melawan kebatilan. Oleh karena itu, dalam perang Badar dipandang bahwa Allah berperan serta dan memberkati Islam sebagai agama. Dr. Muhammad Qadir Abu Faris mencatat kenangan akan kemenangan Muslim atas kaum Quraisy dalam perang Badar al-Kubrā.[25]


[1] Suku Quraisy adalah keturunan Fihir bin Malik, yang merupakan keturunan Adnan. Adnan adalah cucu dari Ismail yang Merupakan anak dari Ibrahim. Semua bangsa Arab mengakui kemuliaan nasab Quraisy, ketinggian bahasa mereka, keberanian dan ketinggian budi pekerti mereka, sehingga mereka dijadikan teladan bagi setiap suku bangsa Arab. [Lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, Riwayat Hidup Rasulullah SAW (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), hlm. 48.]
                [2] As-Sirah dan An-Nabawiyyah, Riwayat …, hlm. 95-99.
                [3] Yohanes Harun Yuwono, Mengenal Islam (Sinaksak: STFT St Yohanes, 2000), Bab. IV,  hlm. 33-35.
[4] Abu Sufyan adalah seorang pemuka (pemimpin) dan bangSAWan kaya Quraisy yang pada awalnya membenci Muhammad SAW. Dia juga ikut dalam beberapa peperangan melawan Muhammad dan kelompok Islam. Namun, pada akhirnya, ia masuk Islam menjelang pembebasan kota Makkah. [Lihat Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 46-48.]
                [5]Muhamad Husain  Haekal, Sejarah Hidup Muhamad (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 263-264.
[6] Badar adalah pangkalan air terkenal yang terletak diantara Madinah dan Makkah, yang tidak terlalu jauh dari pantai Laut Merah. [Lihat Ensiklopedia Islam..., hlm. 212.]
                [7] As-Sirah dan An-Nabawiyyah, Riwayat …, hlm. 197.
                [8] Martin Lings, Muhamad His Life Based On The Earliesr Source (New York: Inner Tranditions International, 1983), hlm. 143-144.
                [9] As-Sirah dan An-Nabawiyyah, Riwayat …, hlm. 200.
                [10]Muhamad Husain Haekal, Sejarah..., hlm. 271.
                [11] Muhamad Husain Haekal, Sejarah …, hlm. 275.
                [12] Muhamad Husain Haekal, Sejarah …, hlm. 274.
                [13] Martin Lings, Muhamad …, hlm. 147-149.
[14] Yohanes Harun Yuwono, Mengenal Islam..., hlm. 62. (diktat); bdk. As-Sirah An-Nabawiyyah, Riwayat…, hlm. 206-207.
[15] Martin Lings, Muhammad..., hlm. 153-154.
[16] Suatu gelar perang yang tiada taranya yang diberikan kepada sahabat Muhammad yang ikut dalam perang Badar. [Lihat Ensiklopedia Islam…, hlm. 213.]
[17] Seperlima dari hasil rampasam diberi pada bagian yang telah disebutkan, sedangkan empat per lima kepada mereka yang ikut bertempur. Bagian mereka yang telah gugur di medan tempur diberikan kepada ahli warisnya dan bagi yang tidak ikut dalam perang namun memiliki andil dalam perang juga diberi bagian. Hari Furqaan yang dimaksud adalah hari kemenangan orang Islam atas orang kafir di perang Badar (17 Ramadhan tahun kedua hijrah). Ada juga yang menafsirkan hari Furqaan sebagai hari turunnya Al-Qur’an (tanggal yang sama). [ Lihat Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alqur’an, Al-Qur-an dan Terjemahannya (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 145.]
[18] Nilai tebusan pada waktu itu berkisar antara seribu sampai empat ribu dirham untuk tiap orang. [Lihat Muhammad Husain Haekal, Sejarah..., hlm. 294.]
[19] As-Sirah An-Nabawiyyah, Riwayat…, hlm. 209-210; bdk. Martin Lings, Muhammad…, hlm. 155-159.
[20] Martin Lings, Muhammad…, hlm. 160.
[21] Martin Lings, Muhammad…, hlm. 161.
[22] Martin Lings, Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources…, hlm. 162.
[23] As-Sirah An-Nabawiyyah, Riwayat Hidup Rasulullah SAW…, hlm. 215.
[24] Martin Lings, Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources…, hlm. 163.
[25] Yohanes Harun Yuwono, Mengenal Islam…, hlm. 64. (diktat).

Komentar

Postingan Populer