Piagam Madinah
PIAGAM MADINAH
Perjalanan Muhammad ke Madinah
Setelah mendapatkan wahyu dari Allah, Muhammad
mencoba mewartakan apa yang diwahyukan itu kepada khalayak ramai. Pewartaan itu
mendapatkan respon positif, namun banyak pula yang menanggapi secara negaif.
Pewartaan Muhammad itu menghasilkan reaksi yang sangat keras dari orang-orang Makkah.
Salah satunya ialah kaum Quraisy. Mereka beranggapan bahwa kehadiran Muhammad
dapat mengancam kesatuan kelompok mereka. Muhammad dituduh sebagai seorang
dukun atau ahli najum, seorang penyair atau juga orang yang kerasukan roh,
bahkan ada pula dari mereka yang mencoba untuk menyakiti Muhammad.[1]
Tekanan yang diberikan oleh mereka, membuat Muhammad mengadakan negosiasi
dengan berbagai pemimpin suku dan mencoba mencari bantuan dan perlindungan dari
mereka untuk menghadapi musuh-musuh yang ada. Tidak hanya itu, mereka juga
menyerang para penganut agama yang baru berkembang ini. Secara kebetulan,
Muhammad diundang oleh kaum muslim di Yathrib untuk tinggal dan menjadi
penengah atau pendamai permusuhan dari suku bangsa yang ada di sana. Hal ini
memungkinkan Muhammad serta rombongan untuk lari dari ancaman musuh yang
dihadapinya.[2]
Muhammad menanggapi undangan tersebut secara
positif. Dengan perjanjian Aqabah I Muhammad menyuruh rombongannya untuk pergi
terlebih dahulu ke kota Madinah. Mereka adalah orang-orang yang percaya
kepadanya dan telah memeluk agama Islam. Baru pada perjanjian Aqabah II
Muhammad berserta sanak keluarganya pergi ke kota Madinah. Ia bermaksud untuk
melarikan diri dari musuh-musuh yang ada di Makkah dan menetap di Yathrib.
Namun, maksud dan tujuan Muhammad itu diketahui oleh musuh-musuhnya. Para musuh
berusaha untuk menangkap Muhammad. Muhammad mengecoh lawannya dengan meyuruh
Ali untuk tidur di tempat tidurnya. Hal ini dilakukan untuk mengulur waktu
pengejaran para musuhnya. Selain itu, Muhammad segera melarikan diri dengan
mengikuti jalan selatan Makkah untuk mengelabui musuh-musuhnya (yang mengikuti
melalui jalan ke utara).[3]
Muhammad sampai di Quba (kira-kira 10 km dari Yathrib), pada sore hari
menjelang petang hari Senin pada tanggal 27 di bulan September tahun 622. Ia
berjumpa dengan rombongan I yang pergi mendahuluinya. Pada hari Jumat pagi, ia
dan rombongan meninggalkan Quba menuju ke Yathrib. Dari Quba menuju Yathrib
kepergian Muhammad sangat lah meriah. Ia di kawal pasukan perang dari suku Aws
dan Khasry Quba dan pasukan penjemput dari kota Yathrib. Sepanjang jalan yang
ia lalui, semua orang bersorak mengucapkan “Selamat datang ya nabi Allah.” Dari
situ nama kota Yathrib berubah menjadi Madina
al-nabi (kota nabi) atau sering di katakana Madinah.
Perjalanan Muhammad dari kota Makkah ke kota
Madinah merupakan Hijrah Muhammad yang pertama. Secara etimologi kata hijrah berasal dari
bahsa Arab yang berbentuk kata benda (isim) dari kata
kerja (fi’il) hajara yang berarti memutuskan
hubungan, pindah, dan meninggalkan suatu tempat pindah kepada yang lain. Hijrah
dapat berarti aktivitas meningalkan suatu negri atau imigran.[4]
Tujuannya ialah agar memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi.
Gambaran Kota Madinah Menjelang Hijrah Nabi[5]
Keadaan Kota
Yatrib
atau yang nantinya akan disebut Madinah, merupakan kota yang sangat subur
alamnya. Kota itu terdiri dari daerah pertanian serta daerah yang terdiri dari
benteng ataupun kubu-kubu pertahanan. Hal ini menunjukkan betapa subur dan
kokohnya pertahanan di kota Madinah. Maka dari itu, tak heran banyak imigran
berlomba ke kota ini, selain untuk mendapatkan pekerjaan juga mendapatkan
ketentraman.
Keadaan Ekonomi
Berbeda dengan kota-kota lain, di antaranya Makkah, tanah kota Madinah sangat subur untuk
bercocok tanam. Karena itu banyak diantara penduduknya menyandarkan hidupnya
dari bercocok tanam. Hasil utama kota Madinah yang sangat terkenal adalah buah
kurma dan anggur. Selain itu ada pula yang menanam biji-bijian dan sayur mayur.
Tak hanya itu, sebagian penduduk Madinah bekerja sebagai pedagang serta yang
terdapat orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari pekerjaan tangan dan
hasil industri.
Suku Bangsa
Keadaan kota yang mumpuni, membuat banyak
pendatang berbondong-bondong ingin menetap di sana. Sekurang-kurangnya terdapat
3 suku bangsa yang mendominasi di kota tersebut. Suka bangsa itu antara lain
ialah: (1) Yahudi yang terbagi atas tiga golongan, yakni Bani Qainuqa, Banu
Quraizah, dan Banu Nadhir. (2) Kaum Anshar, yakni suku Arab, bani Aws, dan
Khazraj, dua kelompok suku Arab utama Yathrib yang mengundang Muhammad. (3)
Kaum Muhajirun (Muhammad dan rombongannya yang berasal dari Makkah).
Masing-masing Kelompok ini sangat memainkan peran aktif terwujudnya Piagam
Madinah.
Keadaan Agama
Seluruh
bangsa Arab pada umumnya selalu mengikuti tata cara kaum Quraisy dalam segi
akidah dan kepercayaan. Mereka menyembah berhala. Untuk kaum Yahudi mereka
mengadakan pertemuan kegamaan di sinagoga yakni tempat peribadatan kaum Yahudi.
Tata cara peribadatan mereka mengikuti tata cara peribadatan kaum Yahudi pada
umumnya dengan Taurat sebagai hukum tertinggi.
Setelah Di Madinah
Suasana
Penuh Keharmonisan
Kaum Anshar mengangkat Muhammad menjadi pemimpin
mereka. Ini menandakan bahwa kaum Anshar menepati bai ‘at (sumpah setia) mereka
di Aqabah, yaitu untuk melindungi Muhammad dan keluarganya serta menghormatinya
lebih dari yang lain. Sebenarnya kaum Anshar telah memiliki pemimpin sebelum
kedatangan Muhammad. Namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Ubai, tetapi dengan adanya
bai’ at di Aqabah, perjanjian dengan ‘Abdullah bin ‘Ubai menjadi batal.
‘Abdullah bin ‘Ubai sebenarnya tak terima atas perpindahan kuasa itu, tetapi ia
tidak bisa berbuat banyak selain tidak mengakui Muhammad sebagai pemimpin. Sampai
meninggalnya, ia tidak mau masuk agama Islam.[6]
Muhammad
Membangun Masjid Nabawi dan Tempat Tinggal
Hal pertama yang dilakukan Oleh Muhammad di
Yathrib/Madinah adalah memilih tempat tinggal di luar perkampungan, yang ada,
di tanah yang ia beli dari pemiliknya.[7]
Tanah itu adalah milik anak yatim bernama Sahal dan Suhayl. Mula-mula kedua
anak yatim itu menolak untuk menerima harga tanah itu. Mereka berkata, “Ya
Rasullah, kami bermaksud untuk memberikan saja tanah itu kepadamu.” Muhammad
menolak pemberian kedua anak yatim itu, dan Muhammad membayar harga tanah itu
sepenuhnya sehingga dapat segera dibangun di atasnya Masjid Nabawi.[8]
Masjid itu nantinya akan difungsikan oleh Muhammad menjadi semacam Sinagoganya
orang Yahudi, yaitu pusat segala kegiatan baik yang berurusan dengan keagamaan
maupun yang berurusan dengan masalah-masalah dunia. Masjid dan perumahan
Muhammad dan para sahabatnya selesai dibangun dalam waktu tujuh bulan, dan
setelah selesai Muhammad meninggalkan rumah Ayyub dan memasuki rumahnya sendiri.
Muhammad
Mempersaudarakan Kaum Muhajirun dengan Kaum Anshar
Sebagai langkah
selanjutnya, Muhammad mempersaudarakan anatara kaum Muhajirun dengan kaum
Anshar. Muhammad mengumumkan agar setiap orang Anshar mengambil seorang
Muhajirun sebagai saudara mereka. Muhammad sendiri menetapkan siapa yang harus
menjadi saudara untuk siapa. Kaum Anshar sangat baik memperlakukan saudara baru
mereka kaum Muhajirun. Bahkan banyak dari mereka lebih mengutamakan kepentingan
saudara barunya itu dari pada kepentingan mereka sendiri. Mereka membagi dua
harta milik mereka, satu bagian untuk mereka dan satu bagaiannya lagi untuk
saudara barunya, kaum Muhajirun. Mereka juga rela menyerahkan isterinya yang
paling cantik setelah diceraikan. Dengan adanya tali persaudaraan itu, kedua
kaum itu mempunyai ikatan yang tak mudah diceraikan. Kaum Muhajirun tak akan
mungkin terusir dari Madinah dan kaum Khazraj dan kaum Aws menjadi berdamai,
karena keduanya telah diikat dengan masing-masing mempunyai saudara kaum
Muhajirun. Tujuan diundangnya Muhammad tinggal di Yathrib/Madinah sebagai
penengah dari permusuhan suku Aws dan Khazraj, bisa dikatakan sudah tercapai.
Muhammad
Membuat Perjanjian antara Kaum Muhajirun dan Anshar dengan Yahudi
Untuk mengahadapi
musuh yang kuat dari Makkah, masalah-masalah intern mesti diselesaikan terlebih
dahulu. Masalah kaum Khazraj dan Aws sudah diselesaikan. Namun terjadi juga
ketegangan antara kaum Anshar dengan kaum Yahudi dan sering lebih hebat karena
kaum Yahudi adalah kaum bukan bangsa Arab. Untuk menjamin ketenteraman dan
saling menghormati satu dengan yang lain, baik dalam kehidupan keagamaan maupun
dalam kehidupan sosial, Muhammad mengeluarkan dekrit, yang kemudian terkenal di
antara kaum Islam dengan nama Piagam Madinah. Piagam ini terdiri dari 47 pasal, 23 pasal berbicara
tentang hubungan kaum Islam (Muhajirun dan Anshar) dan 24 pasal berbicara
tentang hubungan Kaum Islam dengan non Islam (Yahudi).[9]
Piagam inilah yang menjadi perjanjian anatara kaum Muhajirun dan Anshar dan
dengan kaum Yahudi.[10]
Dalam Piagam itu disebutkan bahwa:
1.
Semua pemeluk Islam, walau berbeda suku dan bangsa
adalah satu umat.
2.
Berkaitan dengan kehidupan bersama dengan suku dan
bangsa lain berlaku prinsip: bertetangga dengan baik, saling membantu dalam
menghadapi musuh bersama, bersama membela mereka yang teraniaya, saling
menesehati satu dengan yang lain menuju kebaikan dan menghormati kebebasan
beragama.
Tujuan dari teks Piagam Madinah yang dibuat oleh
Muhammad adalah untuk lebih memperkokoh tali persaudaraan antara kaum Muhajirun
dan Anshar dan untuk mengatur hubungan sosial keagamaan antara 12 suku Arab
dengan 10 suku Yahudi di lain pihak.
Pengaruh
Piagam Madinah
Dengan adanya perjanjian perdamaian yang dikeluarkan
oleh Muhammad baik bagi penduduk Madinah, baik Muslim dan non–Muslim, termasuk
juga orang-orang Yahudi, masalah intern dalam negeri telah dapat dikendalikan.
Namun tidak semua orang Arab Madinah menerima begitu saja kepemimpinan
Muhammad. Dua orang sepupu, Abu ‘Amir dari suku Aws dan ‘Abd Allah bin ‘Ubayy
dari suku Khazraj merasa sakit hati, karena kehilangan pengaruh. Abu ‘Amir yang
dianggap saleh mengklaim diri sebagai Nabi, yang meneruskan agama Abraham dan
menuduh Muhammad telah memalsukan agama Abraham itu. Kemudian Muhammad menjawab
bahwa dirinyalah yang diutus oleh Allah untuk menghadirkan agama Abraham secara
murni. Tetapi Abu ‘Amir kalah pendukung, Hanzalah anaknya sendiri lebih
mendukung Muhammad dan ia masuk Islam. Abu ‘Amir dan sekitar sepuluh orang
pengikutnya mengungsi ke Makkah dan tak pernah kembali lagi. Ada lagi seorang
imam Yahudi dari Bani Qaynuqa, Husayn ibn Salam, yang sangat dihormati oleh
umatnya sebagai seorang yang saleh, menyatakan diri masuk agama Islam. Kemudian
Muhammad mengganti namanya dengan ‘Abd Allah ibnu Salam. Setelah masuk Islam,
ia kehilangan kehormatan dari umatnya. Ia tidak merasa kecewa sedikitpun,
melainkan umatnyalah yang merasa kecewa.
Kemudian orang-orang Islam di bawah pimpinan Muhammad
melaksanakan shalat lima waktu untuk setiap harinya di Masjid yang sedang
dibangun. Setiap waktu sholat, mereka berkumpul tanpa dipanggil.[11]
Muhammad berpikir untuk menggunakan cara Yahudi, yaitu dengan meniup terompet
saat shalat tiba, atau menggunakan naqus
(kentongan atau sejenis lonceng terbuat dari kayu) seperti yang dilakukan oleh orang
Kristen. Ide itu tak pernah dilakukan. Karena ‘Abd Allah ibn Zayd, telah ikut
dalam perjanjian Aqabah yang kedua.
Ia mendapat mimpi tentang Azan. Dalam mimpinya ia bertemu dengan dua orang yang
mebawa naqus. Ia meminta untuk
membeli naqus itu, sebab dibutuhkan
untuk mengundang orang kepada shalat. Kedua orang itu tidak memberikannya,
melainkan memberikan cara yang lebih baik dengan melagukan kalimat-kalimat
Azan. Setelah terbangun, ‘Abd Allah melaporkannya kepada Muhammad. Kemudian
Muhammad menunjuk Bilal, seorang budak kulit hitam, yang telah masuk Islam. Ia
bersuara merdu, karena itu diminta untuk melagukan kalimat-kalimat Azan setiap
kali tiba saat untuk shalat.[12]
Muhammad telah bisa mengendalikan keamanan dan
kerukunan di Yathrib/Madinah. Ia juga telah memperoleh pengakuan sebagai
pemimpin yang sah. Kini saatnya ia memusatkan perhatian untuk menghadapi musuh
utamanya, yaitu kaum Quraishy Makkah.
Berbagai
Perang dan Batalnya Perjanjian
Setelah diberlakukannya Piagam Madinah, kekuasaan
antar suku-suku di Yathrib/Madinah berada di bawah hukum bersama, yaitu Piagam
Madinah. Di mana Muhammad adalah orang yang memegang peranan kunci atas semua
kepala suku, yang berhak mengumumkan perang dan damai serta keputusan yang
terakhir. Suku-suku di Yathrib/Madinah diikat untuk saling solider dengan yang
lain. Namun piagam Madinah juga dianggap mempunyai kelemahan. Boisard
berpendapat bahwa Piagam Madinah itu cenderung lebih menguntungkan kaum Muslim
dan merugikan kaum Yahudi. Kaum Yahudi dan kafir di Yathrib/Madinah diterima
dan diizinkan menjalankan agama mereka. Tetapi dengan syarat mereka harus
memutuskan hubungan dengan musuh-musuh Islam dan menerima Muhammad sebagai
pimpinan militer. Orang Yahudi juga harus ikut dalam membiayai perang, namun
tidak boleh ikut berperang. Karena alasan-alasan itu, orang Yahudi melakukan
protes-protes keberatan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan
membangkitkan kembali permusuhan antara suku Aws dan Khazraj, sehingga mereka
teradu domba. Juga dengan memihak kelompok yang memusuhi Islam. Banyak cara
yang telah mereka lakukan, tetapi mengalami kegagalan bahkan mengakibatkan
pengusiran mereka dari Yathrib/Madinah.
Dalam Piagam Madinah disebut juga kewajiban untuk
berperang bebrapa kali. Karena Allah sendiri mengijinkan perang. Muhammad
menerima wahyu tentang perang yang diizinkan oleh Allah itu, tidak lama setelah
ia sampai di Madinah. Mungkin wahyu inilah yang semakin menguatkan hati
Muhammad untuk merencanakan perang kepada kaum Quraishy.
Misi Muhammad untuk balas dendam kepada kaum Quraishy,
yang telah mengusir mereka dari Makkah sudah tampak pada tahun pertama ia
berada di Yathrib/Madinah. Beberapa kali, ia telah mengirim pasukan ke rute
perjalanan dagang Quraishy. Apabila mereka menang, misi balas dendam tercapai
sekaligus mendapat rampasan perang yang akan berguna bagi mereka. Beberapa kali
Muhammad memimpin pasukannya untuk berperang, namun gagal karena mereka tidak
tepat memperkirakan waktu lewatnya karavan dagang Quraishy. Ketika musim dingin
tiba, para karavan pergi berdagang ke Yaman dan Abbysinia (Etiopia). Muhammad
mengirim ‘Abd Allah ibn Jahsh, sepupunya untuk sekadar mencari informasi bukan
untuk menjarah. Abd Allah berkemah di dekat Ta’ if dan saat itu bulan Rajab,
salah satu bulan yang pantang berperang. Tetapi melihat karavan, dimana di situ
ada Hakam dan Uthman musuh mereka dari suku Quraishy, mereka melakukan perang
dan berhasil mengalahkan karavan itu serta membawa jarahan. Muhammad sendiri
kecewa atas terjadinya perang itu. Kemudian turun wahyu berkaitan dengan
peristiwa itu, yang ditafsir oleh Muhammad sebagai larangan berperang di bulan
haram, namun yang dilakukan ‘Abd Allah adalah kekecualian. Karena itu ia mau
menerima seperlima dari jarahan yang diberikan ‘Abd Allah untuk komunitas.
Setelah perang ini terjadi pula beberapa perang yang dilakukan kelompok
Muhammad kepada kaum Quraishy, sebagai bentuk balas dendam. Mulai dari perang
Badar Kubra, Uhud dan Khandaq.[13]
[7] Benitius Brevoort, Filsafat dan
Teologi Islam, (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2011), hlm. 27. (Diktat)
Komentar
Posting Komentar