Wafat Muhammad
Sebelum Wafatnya Muhammad
Setelah melaksanakan Haji Wada’, Muhammad
bersama berpuluh-puluh ribu jama’ahnya telah tiba kembali di Madinah. Pada masa
itu seluruh kawasan Semenanjung Arabia telah berada di bawah pengaruh Islam dan
tidak ada lagi gangguan yang berarti bagi kaum muslimin. Daerah-daerah luar
yang masih merupakan kendala bagi penyebaran agama Islam ialah yang hingga saat
itu masih berada di bawah kekuasaan Romawi dan Persia, seperti Syam, Mesir dan
Iraq.[1]
Melihat hal ini, Muhammad berpendapat bahwa
kedudukan kaum muslimin di perbatasan Syam perlu diperkuat agar kekuatan Romawi
yang telah meninggalkan kawasan tersebut ke Palestina tidak akan dapat kembali
lagi. Untuk itu Muhammad memerintahkan supaya mempersiapkan pasukan yang akhirnya dipimpin
oleh Usamah bin Zaid bin Haritsah, seorang pemuda berusia kira-kira 20 tahun
yang adalah anak dari seorang bekas budak yang diangkat sebagai anak oleh
Muhammad.[2]
Sebelum Muhammad sakit dan wafat ada beberapa
peristiwa yang dianggap sebagai tanda-tanda menjelang kematiannya. Pertama,
ialah firasat Muhammad sendiri ketika ia menerima kunjungan dua kali yang tidak
biasa dari malaikat Jibril pada bulan Ramadhan. Kejadian ini menjadi salah satu
hal yang mendorong ia untuk melaksanakan Haji.[3]
Selain itu, Muhammad dikenal bahwa kesehatannya selalu baik. Namun, pada suatu
hari pada tahun ke-7 Hijriah dikatakan bahwa Muhammad tidak bernafsu makan, yaitu beberapa waktu setelah beliau makan
sedikit daging beracun yang dihadiahkan kepadanya oleh seorang perempuan Yahudi. [4]
Dikatakan pula setelah kembali dari Haji
Wada', menjelang hari-hari terakhirnya, Muhammad sangat sering berbicara
mengenai surga. Tingkah lakunya pun sering aneh dan membuat heran orang yang ada bersamanya. Misalnya, pernah
suatu kali ia mengulurkan tangannya seakan mau meraih sesuatu, namun tiba-tiba
menariknya kembali. la tidak mengucapkan sepatah kata pun atau menerangkan apa
yang dia lakukan. Namun
orang-orang yang bersamanya bertanya apakah yang sedang ia lakukan. Lalu ia
menerangkan bahwa ia melihat surga dan ia melihat buah-buahan yang ada di
dalamnya. la ingin meraihnya. Namun ia sadar bahwa ia masih hidup di dunia,
lalu mengurungkan niatnya.[5] Juga suatu
malam ketika baru kembali ke Madinah, Muhammad bangun tengah malam dan meminta
pembantunya Abu Muwaihibah untuk meninggalkan rumah dan mengantarnya ke Baqi al-Gharqad, yaitu tempat
pekuburan bagi umat-umat muslim. Di sana Muhammad berdoa bagi mereka yang sudah
meninggal. Setelah berdoa, Muhammad mendatangi pembantunya itu dan berkata,
“Aku telah diberi anak kunci isi dunia ini dan kelestarian hidup di dalamnya,
tambah lagi dengan sorga. Aku diminta memilih: Itu, atau bertemu dengan Allah
di sorga”. Ketika itu Abu Muwaihibah menjawab, “Ya Rasulullah, pilih sajalah
kunci isi dunia ini dan hidup lestari di dalamnya kemudian sorga!”. Beliau
menyahut, “Tidak, aku lebih suka memilih bertemu Allah di sorga!”.[6]
Hari-hari
berikutnya setelah melakukan shalat, beliau memberikan ceramah kepada jemaah.
”Ada seorang hamba Allah, oleh Tuhannya ia disuruh memilih (manakah yang lebih
disukainya), dunia dan akhirat atau semua yang ada pada Allah. Ternyata ia
memilih semua yang ada pada Allah…”. Beliau lalu diam untuk sekian lama. Namun Abu Bakar Ash-Shiddiq segera memahami
bahwa yang dimaksud “hamba Allah” adalah diri beliau sendiri. Ia tidak dapat
menahan air mata dan menangis terisak-isak. Untuk mencegah agar tangis Abu
Bakar itu tidak diikuti oleh orang lain beliau memberi isyarat seraya berkata,
“Hai Abu Bakar, tabahlah!”.[7]
Muhammad Sakit
Suatu hari di awal bulan Juni Muhammad terserang demam. Walau demikian ia tetap
pergi ke Masjid dan
mengimami shalat serta memberikan kothbahnya. Selesai berkothbah demamnya
ternyata makin menjadi. la kembali ke rumah Maymunah, sebab hari itu adalah
gilirannya menerima Muhammad. Namun ia ingin agar Aishah tahu bahwa dia sakit,
maka ia datang ke rumah Aishah. Ternyata Aishah juga sedang sakit kepala. la
hanya sebentar di situ lalu kembali ke rumah Maymunah. Para sahabat dan umatnya
cemas.
Namun pagi hari berikutnya ia hadir di Masjid
dan kembali memimpin Shalat dengan wajah yang nampak segar. Tentu semua orang
gembira akan hal
ini. Namun sebenarnya keadaannya semakin memburuk. Sebab sore harinya ia bahkan
hanya bisa memimpin shalat dengan duduk. Setelah shalat Muhammad menuju ke
rumah salah satu
istrinya yang mendapat giliran menerimanya hari itu. Namun kemudian Muhammad
diantar menuju rumah Aishah yaitu istri favoritnya. Istirahat di rumah Aishah,
Muhammad membaringkan kepalanya di pangkuan istri tercintanya itu.[8]
Esok pagi dini hari ketika Muhammad hendak menuju ke masjid untuk mengimami shalat
berjama’ah, ternyata kondisi badan beliau demikian lemah hingga tidak
memungkinkan dapat mengimami shalat berjama’ah di masjid. Oleh karena itu
beliau lalu menyuruh Aishah memberitahu ayahnya, yaitu Abu Bakar, supaya
mengimami shalat berjama’ah di masjid.[9]
Berita tentang
penyakit Muhammad yang bertambah keras sampailah kepada Usamah dan pasukannya
yang ketika itu masih berada di Jurf menunggu perkembangan keadaan. Mereka
membatalkan keberangkatan ke medan perang di perbatasan Palestina dan segera
pulang ke Madinah.[10]
Melihat keadaan Muhammad semakin parah,
keluarganya berpendapat adalah baik
membantunya dengan pengobatan. Asma salah seorang kerabat Maimunah telah
menyediakan semacam minuman obat yang
pernah ia pelajari cara
pembuatannya selama tinggal di Abisinia. Di saat Muhammad pingsan, mereka
menegukkan minuman itu ke mulutnya. Ketika ia sadar dari pingsannya, ia
mengetahui hal itu dan bertanya “Siapakah yang membuat obat ini? Mengapa kamu
melakukan hal itu?” Al-Abbas menjawab, “Kami khawatir
engkau terkena penyakit radang selaput dada”. Beliau menyahut, “Allah tidak
akan menimpakan penyakit demikian itu kepadaku, paman!”[11]
Muhammad memiliki harta tujuh dinar. Ia khawatir bila saat ia meninggal
hartanya masih ada ditangannya. Maka dimintanya supaya disedekahkan ke fakir
miskin. Tetapi karena begitu sibuknya merawat dan mengurus sakitnya Muhammad,
Aishah lupa melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya. Pada hari Minggu,
sehari sebelum wafatnya, Muhammad bertanya “Apa yang kamu lakukan dengan dinar
itu?” Lalu Aisyah mengatakan bahwa uang itu masih ada. Muhammad meminta agar uang itu saat itu juga
diberi ke fakir miskin.[12]
Muhammad Wafat
Pada hari Senin pagi-pagi tanggal 12 Rabi'ul
Awwal, yakni bulan ke sebelas dalam penanggalan Islam, bersamaan dengan tanggal
8 Juni 632, panas
demamnya mulai turun seakan-akan berkat obat yang diberi keluarganyalah ia
sembuh. Mendengar panggilan shalat subuh, ia tergerak bangun dan pergi ke
Masjid. Ia lalu keluar rumah dengan berikat kepala dan ditopang oleh Ali dan
Abbas. Shalat sudah dimulai dan dipimpin oleh Abu Bakar seperti kemarin
sebagaimana diperintahkannya. Mendengar Muhammad datang, Abu Bakar mundur dan memberikan
tempat pada Muhammad, namun Muhammad menyuruh Abu Bakar melanjutkan mengimami
shalat sementara ia duduk di sampingnya. Melihat keadaan
Muhammad yang sudah berangsur membaik, Usamah datang menghadap beliau untuk
meminta izin menyiagakan kembali pasukannya untuk diberangkatkan ke Palestina.
Demikian pula para sahabat terdekat lainnya, seperti Ali bin Abi Thalib, Abu
Bakar, Umar, dll. Masing-masing meninggalkan tempat untuk menyelesaikan
urusannya masing-masing.[13]
Setelah shalat usai, ia kembali ke rumah
Aishah dibantu Fadl dan Thauban, diikuti Ali dan Abbas. Abbas meminta Ali
bertanya kepada Muhammad mengenai siapa yang harus menggantikannya jika ia
mati, Abbas khawatir
kalau-kalau terjadi perebutan posisi pimpinan, namun Ali menolak. Tak lama sampai di rumah
Aishah, Muhammad kehilangan kesadarannya, lalu memejamkan matanya. Namun
kira-kira satu jam kemudian ia membuka mata kembali. Aishah ingat apa yang
dikatakan Muhammad bahwa dalam peristiwa
seperti itu berarti orang yang akan
meninggal telah diajak melihat surga lalu dikembalikan ke dunia untuk memilih
apakah lebih suka mati dan masuk surga atau hidup kembali di tengah keluarga
dan saudara-saudaranya. Kemudian dengan lemah Muhammad mengucapkan:
"Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama dengan
orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka
itulah teman sebaik-baiknya" (Q. 4: 69). la mengulangi sepenggal dari
kalimat itu, “. . . bersama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh
Allah, . . .” Itulah kalimat terakhir Muhammad di dunia ini. Aisyah merasa
bahwa Muhammad mulai berat dipangkuan Aisyah. Akhirnya Muhammad wafat
dipangkuan isteri tercintanya yaitu Aisyah pada tengah hari
sesudah dzuhur tanggal 12 Rabi’ul-awwal tahun 11 Hijriah dalam usia 63 tahun.[14]
Beberapa Saat Setelah Wafatnya Muhammad
Kaum muslimin tidak percaya dengan berita
bahwa Muhammad telah wafat karena subuh itu ia ikut sembahyang dan terlihat
sudah sembuh. Umar yang baru saja kembali dari barak ketika mendengar berita
wafatnya Muhammad. Ia mendapati jenazah Muhammad dan ia membuka tutup mukanya. Ia sudah tidak
bergerak lagi. Tetapi Umar bersikeras menyatakan bahwa Muhammad
hanya pingsan dan akan segera siuman. Lalu Umar menuju masjid dan berkata-kata ada kaum munafik yang
mengira bahwa Rasullah telah wafat. Tetapi demi Allah sebenarnya ia tidak
meninggal melainkan pergi kepada Tuhan seperti Musa bin’ Imran. Ia telah menghilang
dari tengah-tengah masyarakat selama empat puluh hari kemudian kembali lagi ke tengah mereka
setelah dikatakan sudah mati.
Abu Bakar yang baru datang dari
tempat istrinya di Sunh datang
setelah menerima berita sedih itu. Abu Bakar tidak menghiraukan pidato Umar di
luar mesjid, ia langsung ke rumah Aisyah dan minta izin untuk masuk.
Dilihatnyalah Nabi Suci itu telah diselubungi kain kain burd hibara. Ia membuka kain burd itu
dan menciumnya dan berkata “Alangkah harumnya engkau diwaktu hidup dan alangkah
harumnya juga di saat engkau mati.” Kemudian
Abu Bakar menutup kain burd itu dan keluar. Ternyata Umar masih bicara
dengan meyakinkan bahwa Muhammad tidak wafat. Orang-orang memberi jalan kepada
Abu Bakar “Sabar, sabar, sabarlah Umar.” katanya berada di dekat Umar. Dan Abu Bakar berteriak dihadapan muslimin
“Saudara-saudara, barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad memang sudah
meninggal. Tetapi barangsiapa mau menyembah Tuhan, Tuhan hidup selalu dan tidak
akan pernah mati”.[15]
Kini kekhawatiran
Abbas akan adanya perebutan takhta setelah Muhammad mati mencekam seluruh
jemaat. Sementara Ali pulang ke rumahnya dengan diikuti Zubayr dan Talhah, para
Muhajirun kebanyakan mengelilingi Abu Bakar. Sedangkan kebanyakan kaum Anshar,
baik dari suku Aws maupun Khazraj pergi ke aula bani Sa'idah, dimana Sa'ad ibn
'Ubadah saat itu menjadi kepala mereka. Selama ini kaum Anshar telah dengan
suka rela tunduk pada kepemimpinan Muhammad. Namun ketika kini Muhammad telah
tiada, mereka menginginkan agar kepemimpinan Madinah dikembalikan ke putra
pribumi Yathrib. Mereka telah sepakat untuk menunjuk Sa'ad ibn 'Ubadah, tak
peduli bahwa saat itu Sa'ad sedang sakit.
Umar membaca situasi
yang kurang enak pada indranya. la meminta Abu Bakar agar mau ke aula
bersamanya. Abu Bakar setuju dan Abu Ubaydah mengikuti mereka. Kedatangan
mereka disambut dengan salam, "Kami adalah kaum Anshar (penolong) dan
prajurit pembela Islam. Kalian, kau imigran harus ikut kami sebab kalian hidup
di tanah kami". Umar ingin membalas salam ejekan itu, namun Abu Bakar
menahannya dan dengan tenang dan bijak ia sendiri segera berbicara, “Islam
telah tersebar di seluruh jazirah Arab, dan dianut oleh banyak suku. Mereka tak
akan menerima kepemimpinan siapapun kecuali putra Quraisy, sebab bagai mereka
suku Quraisy mempunyai posisi kunci dan unik. Karena itu, saya persilahkan anda
sekalian untuk memilih dari dua orang ini (Umar dan Abu Ubaydah) untuk di
bai'at".
Kaum Anshar sadar
bahwa ucapan Abu Bakar benar. Namun atas tawaran untuk memilih orang tersebut,
terjadilah perdebatan sengit di antara mereka sendiri, di satu pihak
menginginkan Umar, yang lain menginginkan Abu Ubaydah. Di tengah perdebatan
sengit itu, Umar berkata: "Saudara-saudara,
apakah anda tak tahu bahwa Muhammad telah mengangkat Abu Bakar untuk mengimami
shalat ketika beliau sakit?", “Kami tahu" jawab mereka. Umar menyahut
dengan wibawa, "Kalau begitu ikutilah apa yang kulakukan", lalu ia
memegang tangan Abu Bakar dan meyatakan bai'atnya yang segera diikuti Abu
Ubaydah dan para Muhajirun yang telah berkumpul saat perdebatan tadi. Kaum
Anshar pun kemudian menyatakan bai'at mereka, kecuali Sa'ad yang sedang sakit
dan yang setelah sembuh tak pernah mengakui Abu Bakar sebagai Khalifah, tapi
memilih mengungsi ke Siria.[16]
Pemakaman Jenazah Muhammad[17]
Kemudian kaum muslimin bertanya di mana jenazah Muhammad itu akan dimakamkan. Kalangan Muhajirin
berpendapat sebaiknya dimakamkan di Makkah, tanah tumpah darahnya dan di tengah-tengah keluarganya. Yang
lain lagi berpendapat supaya dimakamkan di Bait’l-Maqdis (Yerusalem) karena
para nabi sebelumnya dimakamkan di sana. Kaum muslimin tidak menyetujui
pendapat untuk dimakamkan di Bait’l Maqdis (Yerusalem dan di Makkah). Mereka
berpendapat supaya Nabi Suci dimakamkan di Medinah kota yang telah memberikan
perlindungan dan pertolongan. Di lain sisi lagi mengatakan dimakamkan di Masjid
tempat ia memberi kothbah dan
bimbingan serta memimpin orang sembahyang. Dan sebaiknya dimakamkan di tempat
mimbar atau disamping mimbar.
Kemudian Abu Bakar tampil memberikan keputusan
kepada orang ramai dengan mengatakan “Saya dengar Rasullah pernah berkata bahwa
setiap ada nabi meninggal, ia dimakamkan di tempat dia meninggal.” Keputusan akhir
bahwa Rasullah akan dimakamkan di mana ia wafat. Maka digalilah sebuah makam di
kamar Aishah untuk Muhammad supaya dimakamkan di situ.
Tugas memandikan jenazah diberikan kepada Ali,
orang yang menjadi bagian dari keluarga Muhammad. la dibantu oleh Abbas dan
anaknya - Fadl, Qitham, dan Usamah serta Shuqran. Ketika memandikan jenazah
itu, Ali berkata, "Alangkah gagahnya engkau baik ketika hidup maupun
setelah mati". Sebab bahkan setelah sehari kematiannya, Muhammad masih
nampak seperti layaknya orang yang sedang tidur, hanya tidak bernafas. Mereka
tidak mau melepaskan bajunya dan celana-celananya. Saat dimandikan badan Muhammad begitu harum sampai keluar
ruangan. Selesai dimandikan jenazah Muhammad
dikafani tiga lapis pakaian. Dua kain kain shuhari dan satu pakaian jenis kain
burd hibara.
Ada dua cara orang-orang Arab ketika itu
menggali kuburan. Pertama, cara orang Makkah yang menggali kuburan dengan
dasarnya yang rata. Kedua, cara Medinah yang menggali kuburan dengan dasarnya dilengkungkan. Keluarga Nabi juga memperbincangkan cara mana kuburan
itu akan digali. Maka keputusan akhir, Nabi Muhammad dimakamkan dengan cara
Medinah. Mereka menunggu makam Rasullah hingga malam tiba. Kemudian syal
berwarna merah yang biasa dipakai Nabi dihamparkan di dalam kuburan. Upacara
pemakaman itu terjadi pada malam Rabu 14 Rabiulawal, yakni dua hari setelah
Rasul berpulang ke rahmatullah.
[1]
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat
Kehidupan Nabi Besar Muhammad S.A.W. (Jakarta: Yayasan Al Hamidy, 1994),
hlm. 839.
[2]
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat
Kehidupan…, hlm. 841-842.
[3]
Yohanes Harun Yuhwono, Mengenal Islam
(Sinaksak - Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2000) (diktat), hlm. 76.
[4]
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat
Kehidupan…, hlm. 843.
[5]
Yohanes Harun Yuhwono, Mengenal Islam…, hlm.
79.
[6]
Leila Azzam, Aisha Gouverneur, The Life
of the Prophet Muhammad (Tanpa Penerbit), hlm. 82.
[7]
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat
Kehidupan …, hlm. 845.
[8]
Yohanes Harun Yuhwono, Mengenal Islam...,
hlm. 78.
[9]
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat
Kehidupan …, hlm. 846.
[10]
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat
Kehidupan…, hlm. 848.
[11]
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup
Muhammad (Jakarta: Intomos Indonesia, 1982). hlm. 639.
[12]
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup…,
hlm. 640.
[13]
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat
Kehidupan…, hlm. 850.
[14]
Yohanes Harun Yuhwono. Mengenal Islam…,
hlm. 78-79.
[15]
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup…,
hlm. 640.
[16]
Yohanes Harun Yuhwono, Mengenal Islam…,
hlm. 80.
[17]
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup…,
hlm. 640-645. bdk. Yohanes Harun
Yuhwono, Mengenal Islam…, hlm. 80-81.
Komentar
Posting Komentar