Beriman Kepada Taqdir


Beriman kepada takdir atau keputusan Allah merupakan Aqidah Islam yang keenam. Aqidah ini muncul di kemudian hari oleh para teolog Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering berkata “Manusia yang berusaha, Tuhan yang menentukan” atau “berserahlah kepada takdir Allah” atau dalam versi Kristen sering terdengar “rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku”. Ungkapan-ungkapan tadi mengindikasikan bahwa manusia adalah makhluk pasif dan lemah dan harus berserah diri terhadap penyelengaraan Ilahi.
Berbicara mengenai takdir, seolah tidak ada habisnya dalam agama Islam. Perdebatan tentang takdir dalam artian bebas atau terikatnya manusia menimbulkan perpecahan dalam agama Islam sendiri menjadi tiga golongan faham.

Arti Kata Taqdir atau Qadar

Secara etimologis, kata Taqdir, menurut imam Raghib, artinya ukuran suatu barang atau ukuran. Menurut penjelasan Imam Raghib, Allah mentakdirkan segala sesuatu dengan dua cara, yaitu (1) memberikan qudrah atau kekuatan kepadasegala sesuatu, dan (2) membuat segala sesuatu dengan ukuran tertentu dan dengan cara-cara tertentu deturut kebijaksanaan.[1] Oleh sebab itu, kata Taqdir berarti suatu undang-undang atau ukuran yang bekerja pada sekalian makhluk Tuhan.

Paham Mengenai Takdir

Dalam perihal ini, banyak cendikiawan Muslim yang mempertanyakan “apakah Tuhan telah menentukan segala-galanya?” Walaupun dogma ini muncul di kemudian hari setelah Islam berkembang pesat, namun pertanyaan tadi diyakini sudah muncul sejak awal Islam ada. Pada pemahaman tentang baik dan buruk ini, umat Islam sendiri terbagi menjadi beberapa golongan seperti berikut.

Kaum Mu’tazilah

Asal-Usul Mu’tazilah
Pada tahun 700-an Masehi, muncul sekte Qadariah yang didirikan oleh al-Hasan al-Basri di Basra. Sekte inilah yang kemudian melahirkan faham Mu’tazilah, yang meneruskan perdebatan mengenai faham predestinasi dan kehendak bebas.[2] Istilah Mu’tazilah berarti “memisahkan diri”sesuai dengan hakikat kelahirannya, yang berawal dari pemisahan diri Wasil Bin Atha dari gurunya al-Hasan al-Basri, karena ia berbeda pendapat dengan sang guru.[3] Kaum ini membawa persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis karena mereka memberi perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani.[4]
Ajaran mengenai Takdir
Problematika kebebasan kehendak menurut aliran Mu’tazilah berkaitan erat dengan prinsip keadilan (Tuhan) yang mereka kembangkan. Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksa kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberi pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu. Mereka memandang bahwa keadilan Allah menjadi hilang jika seseorang dituntut harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau jika ia dihisab tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki. [5]
Mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua klasifikasi: Ikhtiariah dan idtirar. Perbuatan-perbuatan ikhtiariah adalah tindakan-tindakan yang dituju akal manusia dengan berdasarkan pada pengetahuan dan kehendak. Perbuatan-perbuatan jenis ini merupakan alasan bagi taklif seperti shalat dan puasa. Sedangkan perbuatan-perbuatan idtidar adalah perbuatan-perbuatan yang terjadi dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan dari kehendak manusia, seperti api membakar dan menggigil ketika dingin. Pengaitan perbuatan itu kepada manusia kadang-kadang secara allegoris (majaz) karena perbuatan itu terjadi di tangannya. Perbuatan adalah sesuatu yang temporal, sehingga harus ada yang menciptakan. Mu’tazilah serius mengkaji masalah ini, khususnya tentang pencipta bagi perbuatan-perbuatan ikhtiariah.[6]

Kaum Maturidiyah

Asal-Usul Maturidiyah
Aliran ini muncul pada awalnya akibat pertentangan dengan aliran Mu’ltazilah dan pertama kali didirikan oleh Imam Abu Mansur Muhammad bin Muhammad ibnu Mahmud al-Maturidi di Samarkand. Aliran ini tidaklah setradisional aliran Asy’ariyah, dan juga tidak seliberal Mu’tazilah.[7]
Aliran ini terbagi menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand yang lebih liberal (tokohnya: Imam Abu Mansur Muhammad bin Muhammad ibnu Mahmud al-Maturidi wafat Tahun 944 M) dan Maturidiyah Bukhara yang lebih tradisional (tokohnya Abu Yusr Muhammad al-Baydhawi, 421-493 H). Pemisahan ini dikarenakan adanya perbedaan keduanya dalam menentukan penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan. [8]

Ajaran mengenai Takdir
Karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl As-Sunnah wal Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Maturidiyah dan Asy’ariah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kaum Maturidiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan aliran Mu’tazilah. Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan.[9]
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Lebih jauh lagi, Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.[10]

Kaum Asy’ariyah


Asal-Usul Asy’ariyah
Abu al-Hasan Ali Ibnu Ismail al-Asy’ari adalah salah satu orang yang paling terkenal dalam dunia teologi Islam. Ia sendiri pada mulanya adalah anggota terkemuka dari aliran Mu’tazilah, tetapi kemudian, menurut riwayat setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran Mu’tazilah dicap sesat oleh Nabi Muhammad, Asy’ari meninggalkan ajaran itu dan membentuk aliran baru yang menyerang balik cara pikir Mu’tazilah yang kemudia terkenal dengan nama Asy’ariyah (sumber lain menyatakan bahwa pertobatannya dari Mu’tazilah karena perselisihannya dengan anak al-Jubai yang bernama Abu Hashim).[11]

Ajaran mengenai Takdir
Kaum Asy’ariyah-karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan yang berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lainnya. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.[12]
Aliran Asy’ariyah menganut paham pertanggungjawaban manusia terhadap Allah atas segala perbuatannya dan tanggung jawab tersebut terkait dengan al-kasb. Arti sebenarnya dari al-kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-muktasib (yang memeperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan. Kata-kata “timbul dari yang memeperoleh “(waqa’a min al-muktasib) membayangkan kepasifan dan kelemahan manusia. argumen yang diajukan oleh al-Asy’ari tentang diciptakannya kasb oleh Allah adalah Surat al-saffat (37)-96: “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”. Ayat ini mengandung makna perbuatan-perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Jadi, ada perbuatan bagi manusia yang harus dipertanggungjawabkan walaupun bukan manusia yang menciptakannya. Sulit untuk dibantah bahwa Tuhanlah yang menentukan berhasil atau tidaknya, atau seberapa jauh hasil usaha manusia tersebut. Dan mereka berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya.[13]
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran oleh aliran Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 16 Surat Al-Buruj ayat 99 Surat Yunus, ayat 13 Surat As-Sajadah, ayat 112 Surat Al-An’am, dan ayat 253 Al-Baqarah. Ayat-ayat tersebut dipahami Asy’ariyah sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku berarti Tuhan lupa, lalai, apalagi lemah, ini adalah sifat-sifat mustahil bagi Allah.[14]
Aliran Asy’ariyah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bila yang dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.[15]

Penutup
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam bersatu dalam segala hal. Tidak ada mahzab atau aliran lain ketika itu. Nabi Muhammad menjadi sumber iman orang Islam pada masa itu. Namnu, masalh banyak muncul ketika Nabi Muhammad mangkat. Banyak dari kaum Muslimin bersebrangan pendapat yang berakibat perpecahan di antara mereka. Perpecahan itu sangat jelas terlihat dalam perdebatan mengenai takdir. Sebenarnya dalam Al-Quran, banyak ayat yang menyinggung tentang takdir, namun para teolog Muslim memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang masalah itu ditambah lagi pengaruh filsafat Yunani yang mempemgaruhi pola pikir kaum Mu’tazilah, semakin mempertajam konflik ditengah-tengah mereka.
Aliran-aliran teologi penting dalam Islam itu, dewasa ini, sudah tidak terlalu berdengung kuat, walaupun masih ada perdebatan. Dari sebab itu Penulis, yang bukan seorang Muslim, mau menarik kesimpulan bahwa berbicara tentang Tuhan tidak akan pernah ada habisnya dan tidak akan pernah puas. Menurut hemat Penulis, hal fundamental yang melatarbelakangi itu bahwa Tuhan itu jauh lebih besar dari manusia sendiri, baik dari segi apapun. Dan ahir kata kita harus merenungkan perkataan seorang anak kecil kepada St. Agustinus “tidak mungkin otakmu yang kecil itu dapat menampung tentang Allah yang Mahabesar itu.”


[1] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Danul Islam), (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2013) hlm. 318.
[2] Yohanes Harun Yuwono, ‘ilmu al-Kalam (Theologi Islam), (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2002) hlm. 18. (Diktat).
[3] Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman yang Harus Kukenal (Mari Mengenal Pokok-pokok Ajaran Agama Sesama Kita Kaum Muslimin/at), (Kupang: Penerbit Gita Kasih, 2010) hlm. 246.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, perbandingan), (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986) hlm. 38.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 53-55. Bdk. Nicolas J. Woly, Saudaraku di…, hlm. 248. Bdk. Yohanes Harun Yuwono, ‘ilmu al-Kalam…, 24-25.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 54-55.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 9.
[8] Nicolas J. Woly, Saudaraku di…, hlm. 248-249.
[9] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 112.
[10] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 113.
[11] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 9. Bdk. Yohanes Harun Yuwono, ‘ilmu al-Kalam…, hlm. 29
[12] Nicolas J. Woly, Saudaraku di…, hlm. 251. Bdk. Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 106
[13] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 106-107.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 35-37.
[15] Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 112.

Komentar

Postingan Populer