Zakat


Menurut bahasa, zakat berasal dari kata tazkiyah artinya mensucikan. Sebab itu menunaikan zakat berarti mensucikan harta benda dan diri pribadi.[1]Kata zakat juga memiliki berbagai arti yang serumpun. Hans Wehr memberikan beberapa arti sebagai berikut; kebersihan, kesucian (purity); keadilan, kebenaran , ketepatan (justness); ketulusan hati, integritas (integrity); kejujuran (honesty); pembelaan, pembuktian, jastifikasi (justification); pembenaran (vindication); derma, sedekah (almsgiving). Dari sekian banyak pengertian ini, al-Qur’an menggunakan kata zakat dengan arti “suci dari dosa”, atau pembersihan diri, penyucian diri. Pengertian ini dapat dilihat di dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti; S. 2:129, S. 2:151, dan S. 9:103.[2]
Zakat arti harafiahnya adalah pemurnian atau penyucian, ialah sebagian harta yang harus disisihkan  dan harus diberikan kepada orang lain yang membutuhkannya. Harta yang disedekahkan dan diberikan oleh orang lain itu adalah semacam pajak penghasilan yang dituntut oleh Allah.[3] Di dalam salah satu hadits al-Bukhari Muhamat pernah berkata bahwa zakat adalah “ harta yang diambil dari kaum kaya dan dikembalikan kepada kaum miskin”.[4]

Tujuan Zakat

Tujuan dari zakat adalah untuk menyucikan diri dari kemungkinan cinta harta yang berlebihan dan membersihkan harta dari kemungkinan tercampurnya dengan harta yang tidak halal.

Para Wajib Zakat

Zakat diwajibkan bagi setiap Muslim baik laki-laki maupun perempuan dengan ketentuan sebagai berikut;
1.      Ia adalah seorang yang merdeka, bukan budak
2.      Telah mencapai usia pubertas, sehat jasmani dan rohani
3.      Memiliki sejumlah harta yang cukup dan bebas dari hutang dan dia tidak dalam keadaan membutuhkan yang sangat mendesak dan telah memilikinya selama sepanjang tahun
4.      Bersifat produktif dan si pemilik memperoleh laba darinya

Para Penerima Zakat

Masalah yang lebih penting adalah tentang mengeluarkan zakat. Al-Quran telah menetapkan kelompok orang yang berhak menerima zakat. Allah Swt menjelaskan kepada siapa saja zakat harus diberikan seperti dijelaskan dalam Al-Quran (QS al-Tawbah [9] : 60). Delapan golongan, menurut al-Quran, yang berhak menerima zakat adalah:
1.      AL-FUQARA’ (ORANG-ORANG FAKIR)
Kata “fakir” dari kata faqir yaitu bentuk jamak dari kata fuqara, yang berasal dari akar kata faqi yang artinya: “mematahkan tulang punggung”. Jadi “faqir” (fakir) adalah “oarng-orang yang tulang punggungnya patah” atau “orang-orang yang ditimpa kemalangan”. Yang termasuk kelompok ini adalah kaum penderita cacat jasmani yang tidak mampu mencari nafkah sendiri.[5]
2.      AL-MASAKIN (ORANG-ORANG MISKIN)
Orang fakir dan miskin adalah orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka kebalikan dari orang-orang kaya, yaitu orang yang mampu memenuhi apa yang diperlukannya. Lebih jauh, seseorang dikatakan kaya jika ia memiliki harta yang telah mencapai nishab – yaitu, sejumlah harta yang menjadi kebutuhan dasar baginya dan sanak keluarganya berupa keperluan makan, minum, pakaian, rumah, kendaraan dan sebagainya. Jadi, orang yang tidak memiliki semua itu dikatakan sebagai orang miskin dan berhak menerima zakat.
3.      AL-AMILIN’ ALAIHA (PENGUMPUL ZAKAT)
Amilin adalah orang yang ditunjuk oleh pemimpin umat Islam untuk mengumpulkan zakat. Yang termasuk amilin diantaranya adalah petugas dan pengatur administrasi zakat. Ambil bagian dalam pengaturan zakat mendapat imbalan. Petugaspun harus dibayar, baik orang kaya maupun orang miskin. Dalam suatu hadis, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali lima orang, yaitu 1) orang yang mengurusnya, 2) yang membelinya dengan hartanya, 3) yang berhutang, 4) yang berperang di jalan Allah dan, 5) yang menerima pemberian dari orang miskin yang memperoleh zakat”.
4.      FI RIQAB (BUDAK BELIAN)
Seorang budak yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan wajib diberi zakat agar ia bisa membayar uang pembebasan yang diperlukan kepada tuannya. Sekarang, karena perbudakan sudah tidak ada, maka kategori ini berlaku bagi orang yang terpidana yang tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya. Mereka dapat dibantu dengan zakat agar terjamin kebebasannya.
5.      MU’ALLAF QULUBIHIM (ORANG YANG LUNAK HATINYA)
Termasuk mu’allaf  adalah kelompok masyarakat yang hatinya perlu untuk dirangkul atau dikukuhkan dalam keIslaman. Dalam kasus seperti ini, zakat dibagikan untuk mendapatkan dan memperoleh bantuan mereka dalam pertahanan Islam. Para ulama membagi mereka ke dalam dua golongan, Muslimin dan non-Muslimin (kafir). Golongan Muslimin terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu:
a.       Pemimpin. Yakni kelompok orang yang diperhitungkan di antara kaum Muslim dan berpengaruh di antara kaum kafir. Mereka berhak mendapat dan diberi zakat dan diharapkan mereka masuk agama Islam.
b.      Pemuka kaum Muslim yang beriman lemah. Ia berbeda dengan kaum Muslim umumnya, karena baru masuk Islam dan hatinya lemah. Namun ia masih dituruti kaumnya, dan nasihatnya berpengaruh dalam berjihat. Jika diberi zakat, maka zakat itu dapat meningkatakan imanya dan meneguhkan keIslamannya.
c.       Kelompok kaum Muslim yang berada di perbatasan, dekat dengan negara musuh, dapat juga diberi zakat sebagai bantuan untuk mempertahankan daerah Islam.
d.      Petugas zakat. Segolongan kaum Muslim yang bertugas mengumpulkan zakat, baik melalui ajakan maupun paksaan, dari  orang yang tidak mau mengeluarkan zakat dapat dikelompokkan sebagai penerima zakat. Tujuannya untuk mempertahankan kesatuan kaum Muslim.
Mengenai muallaf dari golongan non-Muslim (kafir) ada dua golongan, yakni;
·         Mereka yang mungkin masuk Islam melalui kedamaian dalam hatinya.
·         Mereka yang dikhawatirkan berbuat jahat. Diharapkan dengan diberi zakat akan terhindarkan permusuhannya.
6.      AL-GHARIMIN (ORANG YANG TERBEBANI UTANG)
Orang yang terbebani utang dan tidak bisa membayarnya berhak menerima zakat agar bisa melunasinya.[6]
7.      FI SABILILLAH (DI JALAN ALLAH)
Fi sabillah merupakan pemanfaatan zakat untuk pembiayaan perjuangan Islam ( perjuangan “ di jalan Allah”). Yang dimaksud dengan pemanfaatan zakat ini adalah untuk “jihat” pembelaan agama dan penyiaran agama Islam. Singkatnya, zakat dimaksudkan untuk membela dan meningkatkan kemajuan masyarakat Islam secara keseluruhan yang menjadi korban kapitalisme.[7]
8.      IBN SABIL (PENGEMBARA)
Pengambara adalah orang yang bepergian (musafir) yang tidak punya uang untuk pulang ke tempat asalnya. Para ulama sepakat bahwa mereka hendaknya diberi zakat dalam jumlah yang cukup untuk menjamin mereka pulang. Pemberian ini diikat dengan  syarat bahwa perjalanan dilakukan atas alasan yang bisa diterima dan dibaktikan dalam Islam. Tetapi jika musafir itu orang kaya dinegerinya dan bisa menemukan seseorang yang meminjaminya uang, maka zakat tidak diberikan kepadanya.[8]

Harta Benda yang Dizakatkan

Mengenai zakat sebagai ketentuan wajib yang berbeda-beda dari sedekah yang bersifat sukarela, diwajibkan kepada orang wajib zakat (musakki)untuk dilakukan setahun sekali terhadap harta benda yang dimiliki sebagai penghasilan dalam setahun penuh. Pada umumnya, nishab untuk harta benda berupa uang atau barang adalah 1/40 atau 2 ½%. Mengenai harta benda apa saja yang dikenakan wajib zakat, kita mengutip Arsyad yang mengatakan bahwa ada sembilan (9) hal yang wajib dizakatkan sebagai berikut;
1.      Harta perdagangan, barang atau pun jasa, termasuk misalnya rumah kontrakan,..., simpanan di bank, modal usaha, dan sebagainya, sebesar 2 ½ % (merujuk ke nisab/nilai emas).
2.      Simpana emas lebih kurang 93,6 (±96) gram emas murni, sebedar 2 ½ %.
3.      Simpanan perak (murni lebih kurang 672 gram) sebesar 2 ½ %.
4.      Hasil bumi, misalnya yang dapat dijadikan makanan pokok atau yang dapat mengenyangkan serta dapat disimpan, sebanyak lebih kurang 1.0550 liter, sebesar 5-10 %.
5.      “Fauna” terutama hewan ternak, semisal unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri, juga ayam, bebek, bekicot, lebah, burung puyuh, ular, buaya, dan lain-lain.
6.      Harta terpendam (rikaz) dan benda-benda kuno yang ditemukan, sebesar 20 %.
7.      Hasil tambang atau ma’din, seperti minyak, baja, batu bara, tembaga, kuningan, timah, besi, gas alam, dan lain-lain.
8.      Hasil laut sperti ikan, udang, cumi-cumi, ikan paus, kepiting dan lain-lain.
9.      “Flora”, antara lain biji-bijian (kacang-kacangan, padi-padian, sagu, jagung dan sejenisnya), buah-buahan, (nenas, durian, pisang, kelapa, anggur dan sejenisnya), tanaman hias (mawar, melati, anggrek, dan sejenisnya), umbi-umbian dan daun-daunan (petai, cabai, ubi, kopi, tyeh dan sebagainya), rumput-rumputan dan tanaman keras, seperti bambu, kayu, jati, rotan, cengkeh, pala, kayu cendana, karet, kayu hitam dan sebagainya.[9]

Zakat Fitrah

Zakat fitrah merupakan jenis sedekah yang harus dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan. Zakat fitrah diwajibkan kepada Muslim untuk membersihkan dan menyempurnakan puasanya. Selain itu, zakat fitrah dimaksudkan untuk memperbaiki perbuatan buruk yang dilakukan selama bulan puasa, dan juga untuk memungkinkan si miskin ikut serta dalam kegembiraan Idul Fitri.[10]
Pada hari raya Is al-Fitr tiap-tiap Muslim harus membayar zakat berupa “bahan makanan” ( pada umumnya berupa beras), dengan ketentuan sekurang-kurangnya 2½ kg (atau 3 ½ ). Bahan makanan atau sejumlah uang yang senilai dengan ketentuan jumlah bahan makanan tersebut di atas, dikumpulkan dan diperuntukkan bagi kaum fakir miskin yang membutuhkan bantuan.
Sekali lagi zakat yang dikumpulkan pada hari raya Id al-Fitr adalah dalam rangka melengkapi syukur sehubungan dengan kemenangan yang diperoleh dalam masa Puasa bulan Ramadhan. Setelah selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa dengan pertolongan Allah, maka pada hari Id al-Fitr orang akan kembali ke “fitrah”, yaitu kembali ke status sebagaimana dikehendaki oleh Allah, yaitu sebagai kalifatullah,sebagai “agen Allah”, sebagai wakil Allah yang melaksanakan kehendak Allah. Karena itu, sebagai tanda kemenangan itulah umat “membersihkan diri” atau “menyucikan diri” dengan memberikan zakat fitrah, yaitu mereka yang mempunyai kelebihan dari kebutuhan keluarganya.[11]

Nilai moral dari zakat

1.      Menolong orang  yang miskin dan berkekurangan, dari kesengsaraan akibat kemiskinan dan membuat mereka layak berdasarkan kebutuhan akan kesehatan dan kebersihan,  sedemikian sehingga mereka terjauhkan dari penyakit yang dapat menimbulkan epidemi.
2.      Mengurangi jumlah pengangguran dan pengemis dan mereka yang terlantar
3.      Mengentaskan kemiskinan yang menghimpit mereka yang bernasib kurang baik, sehingga mengurangi tingkat kejahatan dan perbuatan tidak baik lainnya.
4.      Membuat orang yang tak percaya (kafir) tertarik akan Islam sedemikian sehingga zakat berfungsi sebagai siar Islam.
5.      Membuat orang kaya dicintai oleh orang miskin sehingga mengurangi permusuhan sosial warga negara.[12]

Hikmah Zakat

Ajaran zakat mengandung berbagai hikmah yang tinggi, sebagai berikut:
Pertama, zakat sebagai manifestasi rasa syukur dan pernyataan terima-kasih hamba kepada Khalik yang telah menganugerahkan rahmat dan nimatNya berupa kekayaan. Ia adalah pendidikan positif bagi manusia untuk selalu bersyukur dan berterima-kasih kepada si pemberi.
Kedua, zakat membantu manusia membersihkan manusia rohani dan jiwanya dari sifat bakhil, kikir dan rakus. Sebaliknya mendidik manusia menjadi dermawan, pemurah, latihan disiplin, dalam menunaikan “kewajiban dan amanah” kepada yang berhak dan yang berkepentingan, suatu pendidikan akhlak mulia.
Ketiga, di dalam struktur ekonomi Islam maka sistem zakat menunjukkan bahwa sifat perjuangan Islam selalu berorientasi kepada kepentingan kaum dhu’afa (kaum lemah). Menunjukkan bahwa Islam adalah agama pembela kemanusiaan sejati.
Keempat, ajaran zakat menunjukkan bahwa kemiskinan adalah musuh yang harus dilenyapkan. Islam memandang kemiskinan sebagai sumber kejahatan dan kekufuran, sebab itu kemiskinan harus dilawan. Untuk membawa manusia ke jalan Tuhan, satu faktor yang sangat penting ialah memberantas kemelaratan, karena ia merupakan sumber penyakit masyarakat.
Kelima, zakat adalah jalan untuk menghilangkan jurang pemisah (gap) antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin dan antara si kuat dan si lemah. Zakat juga berfungsi menghilangkan perbedaan-perbedaan sosial yang tajam. Selanjutnya zakat menghubungkan tali kasih-sayang antara golongan berpunya dengan golongan tidak berpunya.[13]


[1] Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Alma’arif, 1993), hlm. 186.
[2] Nikolas J. Woly,Saudaraku di Serambi Iman, (Kupang: Gita Kasih, 2010),  hlm. 308
[3] Yohanes Harun Yuwono, Mengenal Islam, (Sinaksak Pematangsiantar: 2000), hlm. 116.
[4] Nikolas J. Woly, Saudaraku ..., hlm. 310.
[5] Nikolas J. Woly, Saudaraku ..., hlm. 320.
[6] Yasin Ibrahim al-Syaikh, Zakat, (Bandung: Marja, 2004), hlm. 86-89)
[7] Nikolas J. Woly, Saudaraku ..., hlm. 321.
[8] Yasin Ibrahim al-Syaikh, zakat ..., hlm. 90-91.
[9] Nikolas J. Woly, Saudaraku ..., hlm. 318.
[10] Yasin Ibrahim al-Syaikh, Zakat ..., hlm. 101.
[11] Nikolas J. Woly, Saudaraku ..., hlm. 321-322.
[12] Yohanes Harun Yuwono, Mengenal ..., hlm. 116.
[13] Nasruddin Razak, Dienul Islam ..., hlm. 193-195.

Komentar

Postingan Populer